Reporter: Purwadi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Para pengusaha bisnis penyeberangan kapal ferry roll on roll off (roro) yang melayani penyeberangan Surabaya-Madura (Suramadu), kini tengah harap-harap cemas. Pasalnya, mereka terancam gulung tikar bila jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura selesai dibangun akhir tahun nanti.
Menurut Direktur Utama PT Dharma Lautan Utama Bambang Haryo, banyaknya pengusaha ferry yang gulung tikar sangat mungkin terjadi karena permintaan penyeberangan dengan menggunakan kapal ferry itu bakal merosot tajam hingga 80%. "Kalau sudah turun drastis seperti itu, mau tak mau pasti banyak yang gulung tikar alias bangkrut," tandasnya ke KONTAN hari ini.
Padahal kata Bambang, sebelum pembangunan jembatan selesai dilakukan, aktivitas penyeberangan melalui kapal ferry per harinya cukup sibuk. Catatan saja, aktivitas penyeberangan di Suramadu dilayani oleh 18 kapal ferry dengan jumlah operator sebanyak 6 perusahaan.
Nah, sepanjang 2008 ini, tingkat rata-rata aktivitas penyeberangan melayani sekitar 40.000 pejalan kaki, 26.000 sepeda motor, 4.000 kendaraan berjenis sedan, dan 2.500 truk dan bus. Bambang khawatir, kalau jembatan sudah jadi, tentunya hampir seluruh aktivitas tersebut akan berpindah menggunakan jembatan. "Apalagi jika tidak ada solusi yang jelas," keluhnya.
Untuk itu, lanjut Bambang yang juga menjabat sebagai Ketua Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdaf) , pemerintah harus memberikan solusi yang pas agar bisnis penyeberangan ini tidak bangkrut. Menurutnya, hal itu sangat penting mengingat aktivitas bisnis penyeberangan tersebut telah menjadi mata pencaharian sekitar 6.000 orang lebih. “Bila ini mati, bagaimana nasib mereka?" imbuhnya.
Bambang sendiri berharap, aktivitas kapal ferry di penyeberangan Suramadu jangan dihentikan. Sebab, ferry dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif utama bila terjadi hal-hal yang di luar ekspektasi pada jembatan Suramadu. "Bila nantinya aktivitas ferry mati. Lalu, ada gempa yang merusak jembatan. Nah, ini akan menjadi masalah yang cukup besar," ucapnya.
Ia lantas memberi masukan agar para pengusaha ferry masih tetap dapat eksis. Salah satunya yakni dengan melakukan pembagian aktivitas penyeberangan. "Kalau memungkinkan, harus ada aturan yang mengatur pejalan kaki, sepeda motor dan bus untuk tetap pakai ferry. Nah, itu tentunya masih bisa memberi napas bagi kami," tuturnya. Dengan adanya aturan semacam itu, Bambang memprediksikan, penurunan pendapatan hanya berkisar 30-40 % saja. Itu artinya, para pengusaha kapal ferry masih bisa bertahan.
Bambang juga berharap, pemerintah mau mengembangkan kawasan Madura sebagai kawasan industri. Hal itu agar aktivitas perdangangan atau bisnis lebih meningkat lagi. "Bila aktivitas naik, tentu volume orang yang lalu lalang juga meningkat," ucapnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Iskandar Abubakar bilang, penurunan permintaan penyeberangan sekaligus pendapatan merupakan konsekuensi wajar bila jembatan selesai dibangun dan resmi beroperasi.
Ia mengatakan, satu-satunya alternatif bagi para pengusaha kapal ferry yakni dengan mengalihkan rute penyeberangan ke lintasan lain. Misalnya saja dengan mengalihkan rute ke Batu Licin-Kota Baru di Kalimantan Selatan atau Poka-Galala di Ambon. "Kita akan menganalisa perpindahan lintasan itu. Bisa juga sesuai permintaan mereka," imbuhnya.
Sementara, ketika disinggung soal solusi pembagian aktivitas penyeberangan seperti usulan Bambang, Iskandar mengatakan bahwa hal itu akan sulit untuk dilakukan. "Wah, kita tidak bisa membatasi itu. Itu kan menyangkut hak asasi," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News