Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jumlah penyerapan tenaga kerja di industri sawit diperkirakan terus meningkat. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut potensi terbuka lebar dari sisi hulu hingga hilir.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono memperkirakan, jumlah penyerapan tenaga kerja bisa mencapai 5 juta orang di sentra sawit dengan total luas perkebunan mencapai 16,3 juta hektare (ha). Penyerapan tenaga kerja terbagi luas dari hulu hingga hilir.
Eddy menyebut, dari sisi hulu penyerapan mencapai 59% yang dikelola oleh perusahaan dan 41% dikelola masyarakat. Meski kini sektor ekonomi dibayangi inflasi dan krisis, potensi penyerapan tenaga kerja di industri ini masih cukup besar.
Baca Juga: Program B40 Segera Berjalan, Wilmar Siap Pasok Kebutuhan Bahan Bakar Nabati
"Sektor hulu sawit belum bisa dilakukan full mekanisasi, sehingga masih banyak nembutuhkan tenaga kerja," ujar Eddy dalam rilis, Jumat (11/4). Namun menurut dia, sektor hulu serapan tenaga kerja tidak akan terus meningkat jika tidak ada pengembangan kebun.
Peningkatan jumlah tenaga kerja di sektor hilir pun akan terus meningkat ada pengembangam di sektor hilir. Eddy menilai, tenaga kerja di sektor hulu punya peran jauh lebih krusial dalam keberlangsungan industri kelapa sawit. Apabila, ada hambatan di hulu, maka seluruh proses juga akan terhambat.
Tenaga kerja di industri kelapa sawit juga terbagi atas tenaga kerja langsung pekerja di pabrik kelapa sawit atau tenaga kerja pendukung. Ini mulai dari angkutan baik darat ataupun laut. "Untuk ke depan, tenaga kerja yang meningkat hanya di sektor hilir sebab di hulu ada moratorium praktis tidak ada perluasan kebun," ujar Eddy.
Bappenas pada 2018 menyebutkan, industri kelapa sawit ini mampu menyerap 16,2 juta orang tenaga kerja dengan rincian 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi juga berpendapat jika penyerapan tenaga kerja sawit Indonesia masih ada potensi meningkat. "Angkanya besar karena mayoritas di Sumatera Utara, Riau, kemudian beberapa kebun di Kalimantan cukup besar," ujar dia.
Baca Juga: Jokowi Resmikan Program Bioetanol Tebu, Apa itu Bioetanol? Apa Kegunaannya?
Bahkan, jumlah 16 juta masih dirasa belum maksimal. Tadjudin menaksir, penyerapan tenaga kerja sawit Indonesia bisa mencapai 20 juta hingga 25 juta tenaga kerja. "Di beberapa daerah, masih banyak yang sulit mencari tenaga kerja sawit," jelas dia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda memproyeksikan ke depan permintaan tenaga kerja sawit masih bisa meningkat pesat. "Data resmi menyebutkan ada sekitar 2,7 juta petani dan 4,4 juta pekerja di bidang perkebunan kelapa sawit. Data tersebut tahun 2019-2020," terang Huda. Jumlahnya bisa bertambah mengingat permintaan tenaga kerja akan meningkat pesat ketika harga kelapa sawit naik.
Salah satu perusahaan kelapa sawit yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar adalah Wilmar. Besarnya jumlah tenaga kerja karena perusahaan tersebut bergerak dari hulu dan hilir.
Untuk perkebunan, Wilmar menyerap tenaga kerja lebih dari 11.000 karyawan. Sedangkan karyawan untuk hilir mencapai lebih dari 31.000 orang. Jika ditambah dengan dampak berganda (multiplier-effect), diperkirakan mencapai dua hingga tiga kali lipatnya.
Baca Juga: Sinar Mas Agro (SMAR) Gaet TaniFoundation, Berdayakan 80 Kelompok Tani di Indonesia
Dengan harga yang sekarang relatif tinggi, Huda optimistis, masih ada ceruk untuk pekerja kelapa sawit ini. Terlebih, karakteristik pekerja kelapa sawit bukanlah tenaga kerja terdidik, sehingga tidak terlalu sulit mencari tenaga kerja yang tersedia.
Tadjudin menjelaskan, penyerapan tenaga kerja sawit sangat berkait erat dengan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Menurut dia, jika harga TBS sedang bagus, maka penyerapan tenaga kerja sawit tinggi karena pengusaha atau pekebun butuh memanen kelapa sawit dengan cepat.
Panen harus dilakukan dalam dua minggu sekali. "Pada waktu harga TBS Rp 1.000 per kg, orang tidak mau panen kelapa sawit, berarti penyerapan tenaga kerjanya rendah," kata Tadjudin. Harga sawit yang tidak menentu di dunia internasional menyebabkan penyerapan tenaga kerjanya juga turun naik turun naik, tidak berkelanjutan karena tergantung harga TBS.
Begitu sebaliknya, pada saat harga TBS di harga Rp 3.500 per kg penyerapan tenaga kerja akan meningkat dan bisa kekurangan tenaga kerja terutama untuk musim panen. "Bahkan anak-anak muda yang ada di pedesaan sekitar kelapa sawit itu tidak mau cari kerja di luar karena upahnya tinggi. Bekerja dua-tiga jam bisa mendapat Rp 200.000 - Rp 300.000," ujar dia.
Tadjudin bercerita, pernah meneliti di pabrik-pabrik sekitar Sumatera Utara pada tahun 2015. "Banyak tenaga kerja minta berhenti dan pulang ke daerah masing-masing karena upah di perkebunan kelapa sawit tinggi," tutur dia.
Baca Juga: Hingga Akhir Tahun, Gapki Ramal Produksi Minyak Sawit Tembus 51,8 Juta Ton
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News