kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

KADI selidiki dumping baja dan polietilena


Kamis, 19 Juli 2012 / 07:00 WIB
KADI selidiki dumping baja dan polietilena
ILUSTRASI. TAJUK - Khomarul Hidayat


Reporter: Dina Farisah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Pengusaha kini sedikit bisa menarik nafas lega. Tudingan telah terjadi dumping atas tiga jenis produk impor yakni dua jenis baja dan polietilena yang mereka lontarkan mulai menuai respon. Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) kini mulai mengadakan penyelidikan.

Wakil Ketua KADI Joko Wiyono mengatakan, pihaknya bersama Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) masih melakukan penyelidikan awal atas tuduhan dumping yang diajukan oleh industri itu.

Sekadar mengingatkan. Tudingan telah terjadi dumping terjadi atas produk baja canai panas hot rolled coil dari China, India, Rusia, Taiwan dan Thailand. Kedua, baja lembaran tipis timah berasal dari Korea Selatan, China dan Taiwan. Adapun yang ketiga adalah produk petrokimia yaitu polietilena berasal dari Korea Selatan, China, Taiwan dan Singapura. (lihat tabel)

Menurut Joko, saat ini, penyidikan baru dalam proses pembagian kuesioner ke pelaku industri terkait di dalam negeri apakah benar telah terjadi kerugian atawa injury akibat impor ketiga produk tersebut.

Setelah itu, KADI akan melakukan investigasi yang diperkirakan akan memakan waktu 12 bulan hingga 18 bulan untuk memastikan bahwa telah terjadi praktik dumping, atau menjual produk dengan harga lebih rendah dari harga di negeri asal produk.

Walaupun proses penyelidikan memerlukan waktu lama, langkah ini penting demi melindungi industri lokal secara lebih cepat. Tak hanya itu saja, kata Joko, ini juga bisa menjadi alasan bagi Kementerian Perdagangan meminta Menteri Keuangan untuk menetapkan bea masuk antidumping sementara terhadap produk yang dituduh melakukan dumping itu.

Tarif anti dumping sementara itu bisa berlaku hingga investigasi dinyatakan final. "Misalnya ditetapkan bea masuk anti dumping sementara 15%, namun ternyata margin dumpingnya 20%, maka, kekurangannya tidak wajib dibayarkan," tandas Joko, Rabu (18/7). Sebaliknya, jika ternyata investigasi final menemukan dumping dibawah bea masuk anti dumping sementara, kelebihan pengenaan bea masuk harus dikembalikan.

Proses pengenaan bea masuk anti dumping harus melalui permohonan perusahaan yang merasa dirugikan. Perusahaan tersebut harus menyampaikan bukti-bukti awal seperti terjadinya penurunan penjualan dalam negeri, penurunan produktivitas dan kapasitas, terjadi kerugian finansial serta terjadinya pengurangan tenaga kerja.

Sayang Joko enggan menjelaskan perusahaan-perusahaan yang mengajukan tuduhan dumping tersebut.

Sangat mahal

Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Ratna Sari Loppies menyambut gembira langkah pemerintah dalam melindungan industri di dalam negeri.

Ia menilai, melalui Peraturan pemerintah (PP) nomor 34 tahun 2011 tentang tindakan anti dumping, tindakan imbalan dan tindakan pengamanan perdagangan, pemerintah sudah menunjukkan komitmennya dalam melindungi industri lokal. Aptindo sendiri pernah mengajukan tuduhan dumping atas terigu yang masuk dari Turki.

Menurut Ratna, pengajuan bea masuk anti dumping sangat mahal. Sebab, perusahaan yang merasa dirugikan harus membuktikan tuduhan nya dengan membandingkan harga jual produk di Indonesia dan harga jual produk di negara asal.

Dengan kondisi itu, mau tidak mau, perusahaan tersebut harus mengeluarkan biaya yang besar untuk melakukan penyelidikan harga sampai ke luar negeri. Kata Ratna, kondisi ini pula yang menyebabkan pengusaha dari kalangan Usaha Kecil Menengah (UKM) tidak bisa melakukannya.

Itulah sebabnya, Aptindo sudah membicarakan persoalan biaya ini dengan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Aptindo meminta Kemdag untuk memfasilitasi informasi harga lewat atase perdagangan Indonesia di luar negeri. “Kita sudah bicara dengan Pak Gita. Beliau setuju,” ujar Ratna.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×