Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri perlu bisa diversifikasi produk supaya bisa tetap punya daya saing. Meski demikian, sejumlah pekerjaan rumah bagi pemerintah dinanti oleh pelaku industri.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan, Benny Soetrisno mengatakan industri tekstil yang memproduksi pakaian sudah sudah jenuh. Sehingga harus pindah slot produksi ke produk lain.
"Supaya bisa bertahan harus diversifikasi. Misalnya untuk industri otomotif, maritim, dan juga ban" jelas Benny yang juga Komisaris PT Asia Pacific Investama Tbk akhir pekan lalu.
Hanya saja menurut Benny, perlu ada dukungan dari sisi bahan baku produk di industri hulu. Apalagi di industri hulu tekstil menurutnya sangat high risk, high investment dan juga low return.
"Pemerintah perlu kasih insentif dan juga kemudahan investasi supaya investor mau masuk," jelasnya.
Asal tahu, saat ini, industri TPT yang beroperasi di Indonesia telah terintegrasi dengan klasifikasi dalam tiga area. Pertama, sektor hulu yang didominasi menghasilkan produk fiber. Kedua, sektor antara, perusahaan-perusahaan yang proses produksinya meliputi spinning, knitting, weaving, dyeing, printing dan finishing. Ketiga, sektor hilir berupa pabrik garmen dan produk tekstil lainnya.
Ade Sudrajat, Ketua Asosisasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan sebelum diversifikasi, masalah internal dari aturan negara, energi, kemampuan sumber daya manusia serta kemampuan logistik harus dibenahi dulu.
"Diversifikasi produk bisa jalan sendiri bila masalah internal dan juga eksternal dibenahi," jelas Ade kepada KONTAN, Minggu (3/12).
Di eksternal, perlu ada kerja sama bilateral dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa supaya memperluas pasar ekspor TPT lokal. Sehingga Indonesia bisa bersaing dengan Vietnam dan Bangladesh yang saat ini bertumbuh pesat di industri tekstil.
"Seharusnya tahun ini ekspor bisa tumbuh double digit, tapi dengan situasi sekarang paling hanya bisa tumbuh 4% di tahun ini," jelas Ade.
Dari catatan Kemenperin memperkirakan ekspor industri TPT akan tumbuh rata-rata 11% per tahun. Untuk tahun 2018, dipatok sebesar USD13,5 miliar dan tahun 2017 sebesar US$ 12,09 miliar. Di sisi tenaga kerja, pada 2018, diharapkan sektor ini menyerap sekitar 2,95 juta orang dan hingga akhir tahun ini sebanyak 2,73 juta orang.
Prama Yudha Amdan, Corporate Communication PT Asia Pacific Fibers Tbk mengatakan diversifikasi produk menjadi salah satu perhatian perusahaan. Apalagi tekstil aplikasi atau tekstil fungsional adalah produk bernilai tambah sehingga potensial untuk dikembangkan lebih jauh. "Selain memang marginnya lebih baik dari komoditas, permintaan terus meningkat dari tahun ke tahun dari beragam industri seperti otomotif, pesawat terbang dan lainya," jelas Prama kepada KONTAN, Minggu (3/12).
Merujuk data Asosiasi Pengusaha Synthetic Fiber Indonesia (Apsyfi) 2016, impor tekstil bernilai tambah ini bernilai sekitar US$ 1 miliar. Emiten berkode dagang POLY ini mulai mendiversifikasi produk untuk kebutuhanotomotif, aplikasi kesehatan, color yarn dan serat tahan api. Saat ini 70% penjualan perusahaaan ke industri apparel (pakaian) sebesar 70% dan sisanya tekstil aplikasi sebesar 30%. Penjualannya sudah merangsek ke pabrikan otomotif Jepang dan juga Eropa.
"Kami berupaya untuk perluasan pasar, mengurangi ketergantungan ke pasar komoditas yang kurang stabil dan mendukung upaya pemerintah merevitalisasi industri TPT," jelas Prama
Sekedar catatan, saat ini POLY memiliki dua unit pabrik di Karawang, Jawa Barat dan Kendal, Jawa Tengah. Dari dua pabrik itu, POLY memiliki kapasitas
produksi Purified terephthalic acid (PTA) sebesar 340.000 metrik ton pertahun dan Polymers sebesar 358.000 MT per tahun. Selain itu juga, dua pabrik tersebut mampu menghasilkan stable fibers dan filament yarns dengan kapasitas produksi terpasang masing-masing sebesar 194.000 MT dan 153.000 MT. "Kontribusinya saat ini masih sekitar 3%-5% dari kapasitas produksi," lanjut Prama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News