kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kartu perdana murah, Churn Rate operator tinggi


Minggu, 16 Juli 2017 / 22:40 WIB
Kartu perdana murah, Churn Rate operator tinggi


Reporter: Tantyo Prasetya | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Murahnya harga kartu perdana prabayar yang dijual oleh para operator telekomunikasi, membuat tingkat persentase berhentinya pelanggan karena alasan tertentu (Churn Rate) di Indonesia berada di kisaran 20% setiap bulannya.

Besarnya jumlah tersebut lantaran para pelanggan memilih untuk membeli kartu perdana yang disertai berbagai layanan dalam bundling tersebut, seperti layanan voice, message, dan data.

Melihat hal tersebut, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) berencana akan mengatur harga perdana para pelaku bisnis telekomunikasi di Indonesia. Harapannya, jika sudah ketahuan harga kartu perdana "kosong" tanpa bundling, diharapkan akan mengurangi churn rate yang dialami operator.

"Saat ini terjadi Churn Rate karena pelanggan cenderung berganti kartu untuk bisa mendapatkan tarif yang lebih murah yang ditawarkan bersama dengan kartu perdana," terang komisioner BRTI I Ketut Prihadi kepada Kontan, Minggu (16/7).

Anggota BRTI bidang Kebijakan Publik Taufik Hasan menegaskan, kebiasaan pelanggan yang sering mengganti kartu perdana merupakan sebuah pemborosan bagi pembuatan kartu baru yang akhirnya mempengaruhi beban perseroan dalam Operational Expenditure (Opex).

Taufik memperkirakan, dari sekitar 300 juta pelanggan, penjualan kartu perdana mencapai 800 juta kartu baru tanpa menambah pelanggan baru. Besarnya beban yang dikeluarkan operator untuk membuat kartu perdana tersebut, ditaksir mencapai Rp 1,7 triliun yang kemudian terbuang sia-sia karena pelanggan langsung mengganti kartu perdana baru lainnya.

"Ini akhirnya menjadi limbah ICT. Lebih baik beban tersebut digunakan untuk investasi dalam bentuk lain," terang Taufik kepada Kontan, Minggu (16/7).

Dalam waktu dekat, rencananya BRTI akan mengadakan Forum Group Discussion (FGD) dengan para operator dengan stakeholder lainnya serta lembaga perlindungan konsumen, seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Dari FGD tersebut diharapkan akan ada sebuah Rancangan Peraturan Menteri (RPM) yang mengatur tentang harga kartu perdana tersebut.

Salah satu harapannya, akan terbentuk sebuah regulasi yang mengatur harga kartu perdana tidak boleh lebih rendah dari harga paket layanan yang ditawarkan pada kartu tersebut.

"Kemudian operator harus memberikan harga yang jelas dan mudah dimengerti  bagi pelanggan untuk melakukan perbandingan layanan antar operator," tambah Taufik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×