Reporter: Arief Ardiansyah, Anastasia Lilin Y, Hendra Gunawan, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Nyaris tak ada yang salah dalam bisnis Multiply sebelum akhirnya muncul pengumuman penutupan bisnis mereka akhir bulan nanti. Setelah diakuisisi, Multiply melihat bisnis jejaring sosial bukan lahan basah dan memutuskan beralih ke perdagangan online (e-commerce).
Di bidang ini, langkah Multiply tergolong mantap dan tidak setengah-setengah. Mereka memilih model bisnis e-commerce berupa marketplace. Multiply menyasar para pedagang berkategori Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang ingin mengembangkan bisnis secara online. Sejak era internet dan bisnis online merebak, banyak UKM yang ingin mengepakkan sayap di ranah maya.
Agar UKM mau membuka lapak di pasar mereka, Multiply menyediakan pelatihan pengembangan toko. Situs yang didirikan Peter Pezaris ini juga menyiapkan sistem pembayaran seapik mungkin. Paradigma mereka jelas: selama ini konsumen Indonesia terbiasa belanja online, buka bertransaksi online. Multiply berharap, situs ecommerce yang baru ini bisa melayani proses jual-beli hingga pembayaran benar-benar secara online di internet.
Sebagian masyarakat masih takut untuk melakukan transaksi pembayaran secara online. Maka, sebagai penarik, Multiply menawarkan fasilitas gratis ongkos kirim maksimal Rp 25.000 untuk transaksi minimal Rp 100.000. Cara ini jitu untuk mendongkrak transaksi online di Multiply. Tapi, semakin besar transaksi, kian dalam pula Multiply merogoh kantong.
Urusan membakar duit, barangkali biasa bagi investor sekelas Naspers Limited. Asal, asapnya bisa menjadi fulus yang lebih banyak. Kasus Multiply agak berbeda, asap dari duit yang terbakar susah diubah menjadi uang.
Country Manager Multiply Daniel Tumiwa pernah menyatakan banyak pedagang yang sekadar suka e-commerce, tapi maunya untung bersih. Ketika pemilik marketplace atau pasar ingin mengenakan fee transaksi, mereka teriak menolak. Inilah yang menyulitkan Multiply menerapkan kebijakan pengenaan fee 3,9% untuk tiap transaksi.
Kenyataan Multiply gagal memungut fee transaksi dan subsidi ongkos kirim yang kian besar menjadi dilema dan berujung penutupan bisnis. CEO Multiply Stefan Magdalinski mengatakan, meski tutup, pemilik saham Multiply tetap ada di Indonesia. “Mereka akan meningkatkan investasi di e-commerce dengan model bisnis iklan baris di Indonesia, yaitu Tokobagus.com,” kata Stefan.
Tumbuh dua kali lipat
Makanya, pengamat sekaligus pelaku e-commerce Andi Surja Boediman lebih melihat penutupan Multiply sebagai strategi investor semata. “Ada investor yang memutuskan nasib dua investasinya di bisnis yang sama dalam satu pasar,” kata Andi.
Dalam hal ini, ungkap Andi, Tokobagus berada dalam posisi yang lebih baik daripada Multiply. Model e-commerce berupa classifi ed business alias iklan baris yang dijalankan Tokobagus mampu menghasilkan uang lebih cepat ketimbang konsep marketplace Multiply.
Tengok kinerja Tokobagus pada kuartal II 2012 lalu. Mereka menorehkan nilai Rp 1,3 triliun dari 200.000 transaksi yang terjadi setiap hari. Kala itu, ada sekitar 1 juta orang yang mengunjungi Tokobagus.
Bandingkan dengan Multiply. Memang, Daniel belum pernah menyebut angka pasti kinerja Multiply. Tapi, akhir tahun lalu, dia mengatakan jumlah pengunjung Multiply berkisar tujuh juta per bulan. Angka ini naik lima kali lipat dari tahun lalu. Artinya, jumlah pengunjung Multiply sebulan setara dengan jumlah pengunjung Tokobagus selama sepekan saja.
Dengan begitu, Andi berani menyimpulkan, keputusan penutupan Multiply ini tidak ada kaitannya dengan prospek bisnis e-commerce di Indonesia. Apalagi, dia melihat bisnis ecommerce Tanah Air sedang bagus-bagusnya.
Sembari menyayangkan keputusan penutupan Multiply, Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) Gatot S. Dewa Broto setuju dengan pendapat Andi. Dalam dua tahun terakhir, omzet bisnis online di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Pada 2011, nilai transaksi ecommerce mencapai Rp 63 triliun. Tahun lalu, hasil surveiKemkominfo menyatakan nilai transaksi e-commerce mencapai Rp 126 triliun. “Saya melihat e-commerce masih bagus tahun ini,” kata Gatot.
Tentu tak satupun pelaku e-commerce mau bernasib sama dengan Multiply. Meski mungkin saja terjadi, CEO Living Social Indonesia Rolf Monteiro mengatakan lanskap industri e-commerce di Indonesia sangat dinamis. Setiap aspek dari bisnis memainkan peran yang sangat besar. “Tapi, yang paling penting, timing is everything,” kata Rolf.
Rolf yakin bisnis ini masih akan terus berkembang, membuka peluang, dan daya tarik bagi pemodal. Kegagalan Multiply bisa menjadi pelajaran bagi para pelaku e-commerce baik yang sudah ada maupun yang akan masuk.
Persaingan yang ketat menjadi santapan wajib para pelaku e-commerce di Indonesia. CEO Tokopedia.com William Tanuwijaya mengaku selalu menghadapi kompetisi ketat dalam tiga tahun terakhir melawan para pemain besar seperti Plasa.com, Rakuten, dan Multiply. “Kami selalu menang dari sisi traffic,” kata William.
Saat ini, Tokopedia menjadi salah satu website lokal paling muda yang berhasil masuk dalam jajaran 50 website paling sering dikunjungi di Indonesia. Ketangguhan Tokopedia ini yang membuat investor asing tertarik menyetor modal. William mengatakan, setahun lalu, Netprice.com, sebuah perusahaan dari Jepang turut berinvestasi di Tokopedia.
Ada lagi Rocket Internet, sebuah perusahaan online dari Jerman. Pada 2012, mereka terjun ke pasar e-commerce Indonesia. Tak tanggung-tanggung, mereka membuat empat situs belanja online sekaligus dengan spesifikasi produk berbeda.
Keempat situs tersebut adalah Lazada yang fokus menjual peralatan elektronik, rumahtangga, gadget, dan aksesoris; lantas Zalora menjual produk fashion; OfficeFab menyediakan perlengkapan kantor, dan FoodPanda yang melayani jasa pengiriman makanan.
Satu tahun berjalan, bisnis mereka sudah terlihat moncer. Managing Director Lazada Indonesia Tom Damek mengatakan setahun terakhir situsnya kedatangan 200.000 pengunjung. Lazada memajang sekitar 3.000 sub kategori barang mulai komputer dan laptop, ponsel, tablet, kamera, peralatan elektronik, peralatan rumah tangga, alat kesehatan dan kecantikan. “Rata-rata ada 3.000 transaksi per hari,” kata Tom.
Satu yang mengkhawatirkan pebisnis e-commerce adalah rencana pemerintah memungut pajak atas transaksi online yang menggiurkan. Memang, belum ada aturan resmi untuk pungutan ini. Tapi, Dewan Pengawas Indonesian E-commerce Association Ken Dean Lawadinata melihat wacana tentang pajak ini makin terang. “Pungutan seperti ini bagaikan obat yang mengobati sakit yang dirasakan saat ini tapi tidak melihat jangka panjang,” kata Ken, yang juga CEO Kaskus.
Seharusnya, sebelum memungut pajak atas transaksi online, pemerintah memperkuat sistem yang ada agar transaksi online bisa diandalkan dari sisi keamanan, tanggung jawab sosial, dan tetap mengedepankan sisi kreativitas pelaku usaha. Tanpa itu, pungutan pemerintah justru akan menghambat pertumbuhan industri.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 32 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News