Reporter: Leni Wandira | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meningkatnya kasus penipuan digital di sektor keuangan menjadi alarm bagi industri perbankan dan teknologi untuk memperkuat sistem keamanan siber.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai kerugian akibat penipuan online di Indonesia telah menembus Rp 3,2 triliun hingga 20 Juni 2025.
Angka ini berasal dari lebih dari 157.000 laporan masyarakat, dua hingga tiga kali lipat lebih tinggi dibanding negara lain.
Fenomena ini menyoroti kerentanan data nasabah dan aset finansial di tengah akselerasi transformasi digital nasional.
Praktisi keamanan siber sekaligus Technical General Manager PT Virtus Technology Indonesia, Wisnu Nursahid, menilai maraknya identity theft dan identity fraud menjadi ancaman sistemik bagi kelangsungan bisnis digital di Indonesia.
Baca Juga: DJP Tetapkan Kriteria Penunjukan Marketplace sebagai Pemungut Pajak
“Penting bagi semua pihak, baik institusi maupun individu, untuk menyadari bahwa perlindungan data digital bukan hanya tanggung jawab platform atau regulator, tapi juga partisipasi aktif dari penggunanya,” ujar Wisnu dalam keterangannya, Kamis (7/8/2025).
Identity theft merupakan tahap awal pencurian informasi pribadi, mulai dari data langsung seperti nama, password, hingga data tidak langsung seperti alamat dan tanggal lahir.
Data tersebut kemudian dimanfaatkan untuk melakukan identity fraud yakni aksi ilegal seperti pembukaan pinjaman fiktif atau transaksi keuangan atas nama korban.
Beberapa indikator umum terjadinya fraud yang perlu diwaspadai pengguna antara lain hilangnya tagihan rutin, transaksi mencurigakan di laporan rekening, serta munculnya aktivitas kredit yang tidak dikenali. Jika tidak ditindak cepat, risiko kerugian akan meningkat secara signifikan.
Baca Juga: BTN Genjot Transformasi Operasional, akan Buka 23 Digital Store di Tahun 2025
Sektor Keuangan & Teknologi Perkuat Sistem Pertahanan.
Menghadapi ancaman ini, perbankan dan institusi teknologi terus memperkuat infrastruktur keamanan mereka. Sejumlah langkah mitigasi telah dilakukan:
- Sistem Deteksi Transaksi Anomali: Bank kini mengimplementasikan sistem pemantauan real-time yang secara otomatis mengidentifikasi transaksi di luar kebiasaan nasabah.
- Verifikasi Identitas dan Perilaku: Teknologi User Behaviour Analytics digunakan untuk mendeteksi login dari perangkat baru atau lokasi tak dikenal.
- Keamanan Jaringan Terintegrasi AI: Penggunaan Intrusion Prevention System (IPS), Web Application Firewall (WAF), dan sistem keamanan API menjadi fondasi utama dalam menjaga integritas sistem perbankan. Integrasi kecerdasan buatan (AI) dan big data memungkinkan deteksi pola penipuan secara masif dan presisi tinggi.
Meskipun teknologi semakin mutakhir, Wisnu mengingatkan bahwa perlindungan terbaik tetap dimulai dari kesadaran pengguna.
Baca Juga: DJP Tetapkan Kriteria Penunjukan Marketplace sebagai Pemungut Pajak
Langkah preventif seperti memperbarui password, mengaktifkan otentikasi dua faktor (2FA), dan rajin memantau laporan transaksi menjadi pertahanan pertama yang paling efektif.
Dalam jangka panjang, sinergi antara edukasi publik, pembaruan regulasi, dan inovasi teknologi menjadi kunci menciptakan ekosistem digital yang lebih aman.
“Institusi bisa membangun tembok yang tinggi, tapi jika penggunanya lengah, celah akan tetap terbuka,” tegas Wisnu.
Selanjutnya: IKEA Pacu Lokalisasi Rantai Pasok, Produk Made in Indonesia Ekspor ke Seluruh Dunia
Menarik Dibaca: Xiaomi Rilis Mijia Front Load Washer Dryer, Mesin Cuci Pertama Xiaomi di Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News