Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Sebanyak 4 asosiasi perusahaan pengguna jasa yang berkaitan dengan pengiriman barang dan PT Pos Indonesia meminta Kementerian Perhubungan untuk merevisi kebijakan regulated agent (RA). Kebijakan itu menyebabkan alur pengiriman barang dan kargo menjadi semakin lama dan biaya tinggi.
Mereka yang melakukan protes terhadap penerapan RA adalah Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo), Asosiasi Logistik dan Freight Forwarder Indonesia (ALFI), Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat (APKB) dan Serikat Perusahaan Pers (SPS) dan PT Pos Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Ekspres Indonesia (Asperindo) M. Kadrial mengatakan kebijakan RA menyebabkan operasional pengiriman barang kargo dan pos menjadi sangat lambat. Selain itu biaya yang harus dikeluarkan mengalami kenaikan menjadi sangat mahal. "Kebijakan RA bisa menyebabkan perekonomian terganggu," kata Kadrial dalam jumpa pers, Rabu (3/8).
Kadrial menilai logistik di Indonesia yang terkenal lambat, akan menjadi semakin lambat dengan adanya kebijakan RA itu. Kebijakan RA juga tidak sejalan dengan keinginan pemerintah agar Indonesia memiliki kemampuan daya saing dengan negara lain. Apalagi, kenaikan tarif yang ditetapkan RA sangat tinggi hingga mencapai 1.250% dari tarif sebelumnya.
Kadrial mengatakan mereka menyadari keselamatan dan keamanan penerbangan merupakan hal yang sangat fundamental bagi transportasi udara. Namun RA yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Udara N SKEP/255/IV/2011 itu dinilai tidak sesuai dengan ketentuan organisasi penerbangan sipil internasional (ICAO).
Dalam ketentuan ICAO, RA tidak harus merupakan badan usaha baru melainkan bisa merupakan badan usaha kargo atau badan usaha lainnya yang dilengkapi dengan persyaratan untuk pemeriksaan keamanan kargo dan pos. Padahal, badan usaha baru akan menjadi sangat mahal karena membutuhkan investasi baru untuk perekrutan karyawan, pembelian peralatan dan sebagainya. "Aspek keamanan seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan dijadikan sebagai bisnis baru," kata Kadrial.
Selain itu tidak ada ketentuan ICAO yang mengatur bahwa pemeriksaan RA harus dilaksanakan di luar lini satu. Padahal pemeriksaan di lini satu mengakibatkan alur pengiriman barang kargo dan pos menjadi tidak efektif dan efisien.
Sementara itu, SKEP 255 juga tidak selaras dengan Peraturan Kepabeanan/Bea dan Cukai untuk barang-barang berikat. Petugas yang bisa melakukan pengawasan stuffing, memberikan segel pada peti kemas atau kemasan barang dan mencatat jenis serta nomornya pada form yang ada menjadi kewenangan petugas bea dan cukai. Namun dalam pelaksanaan RA, pemeriksaan barang dan kargo petugas RA bisa membuka segel bea cukai jika ada dugaan barang mencurigakan.
Untuk itu, Kadrial mengatakan kebijakan RA harus direvisi agar sesuai dengan ketentuan ICAO dan Kepabeanan. Selama belum ada revisi, Kadrial menyarankan agar pemeriksaan barang kargo tetap seperti semula. Selanjutnya setelah ada revisi SKEP, harus disosialisasikan lebih dulu dan melalui masa transisi minimal satu tahun. "Uji coba jangan langsung di bandara terbesar tapi di bandara kecil dulu," kata Kadrial.
Kadrial sendiri menyebutkan informasi yang diperoleh saat rapat dengan pengelola bandara, kebijakan RA akan mulai diberlakukan lagi pada tanggal 3 September 2011. Namun hingga saat ini belum ada keputusan yang jelas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News