Reporter: Filemon Agung | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta para pelaku usaha nikel baik penambang maupun pengusaha smelter untuk mengikuti ketentuan Harga Patokan Mineral (HPM) yang berlaku.
Hal ini terungkap dalam salinan Surat Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Nomor T-1780/MB.04/DJB.M/2022 yang diperoleh Kontan.co.id.
Surat bertanggal 26 April 2022 itu memuat tentang kewajiban penggunaan HPM logam dalam penjualan dan/atau pembelian komoditas nikel.
Surat yang ditandatangani Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin ini ditujukan kepada Direksi/Pengurus Para Pemegang Izin Usaha Pertambangan Komoditas Nikel serta Direksi/Pengurus Para Pemegang Izin Usaha Industri/Fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian Komoditas Nikel.
Adapun, poin-poin dalam surat tersebut berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2020.
Baca Juga: Terpoles Harga Nikel, Laba Bersih Vale Indonesia (INCO) Terbang 100% di Kuartal I
Selain itu juga berhubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 67.K/HK.02/MEM.B/2022 tentang Harga Mineral Logam Acuan dan Harga Batubara Acuan untuk Bulan April Tahun 2022.
"Perhitungan formula HPM logam nikel untuk bulan April 2022 harus menggunakan Harga Mineral Acuan (HMA) yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 67.K/HK.02/MEM.B/2022 tentang Harga Mineral Logam Acuan dan Harga Batubara Acuan untuk Bulan April Tahun 2022," ungkap Ridwan sebagaimana dikutip dari poin pertama dalam surat tersebut, Selasa (10/5).
Selanjutnya, para pemegang izin usaha pertambangan komoditas nikel dan pemegang izin usaha industri/fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian komoditas nikel dalam melakukan penjualan dan/atau pembelian bijih (ore) nikel wajib mengacu pada HPM logam nikel.
Adapun, pemegang izin usaha pertambangan komoditas nikel dan pemegang izin usaha industri/fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian komoditas nikel yang melakukan penjualan dan/atau pembelian bijih (ore) nikel dengan tidak mengacu pada HPM logam akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, polemik harga jual antara penambang dan industri smelter memang terjadi terlebih ditengah kondisi harga bijih nikel yang cukup tinggi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy K. Lengkey menjelaskan, HPM logam nikel pada April 2022 mencapai US$ 80 per wet metric ton (wmt). Nilai ini lebih tinggi ketimbang HPM Maret 2022 yang hanya sebesar US$ 50 per wmt.
Dalam kondisi ini, banyak pelaku usaha smelter yang ingin melakukan kontrak dengan penambang dengan harga bulan Maret dan bukan dengan harga April.
Kondisi ini pun dinilai bakal memberatkan para pelaku usaha pertambangan. Pasalnya, para pelaku usaha bakal membayar kewajiban kepada negara sesuai dengan besaran HPM yang berlaku.
Artinya, jika penambang menjual dengan harga US$ 50 per wmt, maka besaran beban kewajiban yang harus dibayar yakni mengacu pada HPM yang berlaku sebesar US$ 80 per wmt.
"Pajak akhir tahun, PPh badan akan nombok luar biasa karena harga sudah ditetapkan," terang Meidy kepada Kontan, Selasa (10/5).
Meidy pun berharap ke depannya semua pelaku usaha dapat mengikuti aturan yang sudah ditetapkan.
Baca Juga: Permintaan Meningkat, APNI Optimistis Investasi di Industri Nikel terus Tumbuh
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News