Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan pentingnya keterlibatan berbagai negara untuk mendorong proses transisi, termasuk dalam hal pendanaan dalam mendorong transisi energi bersih.
Saat menjadi salah satu pembicara pada gelaran Global Commission on People-Centred Clean Energy Transitions yang diselenggarakan oleh International Energy Agency (IEA), Arifin mengungkapkan agenda penting tidak hanya untuk mempercepat pengurangan emisi, namun juga melibatkan dan memberdayakan masyarakat dalam proses transisi energi.
Arifin berharap, Komisi tersebut akan melibatkan negara-negara untuk melakukan kerjasama dan kemitraan konstruktif pada transisi energi. Indonesia pun terbuka untuk membangun kemitraan dalam pengembangan program industri ekstraktif hilir.
Komisi ini juga perlu melibatkan banyak partisipasi negara berkembang atau ekonomi berkembang. Hal tersebut akan menjadi masukan penting menuju COP26 Glasgow tahun ini.
Baca Juga: Kementerian ESDM bakal gandeng Kementerian PUPR untuk menyerap FABA PLTU
"Di masa depan, proses transisi energi memberlakukan standar yang lebih canggih pada lingkungan, sosial dan tata kelola. Negara berkembang akan menghadapi beberapa tantangan di sektor pendanaan," ungkapnya dalam keterangan resmi Kementerian ESDM, Selasa (16/3).
Arifin juga bilang, tantangannya bukan hanya dukungan keuangan, komisi juga perlu membantu negara-negara dengan seperangkat rekomendasi kebijakan, studi dan penilaian manfaat sosio-ekonomi, politik-ekonomi dan teknologi dari transisi yang adil dalam konteks yang lebih luas.
Selain itu, Arifin juga menekankan kalau upaya transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan perlu mempertimbangkan aksesibilitas, keterjangkauan, ketersediaan, kesetaraan dan keandalan energi bersih itu sendiri. Untuk itu, keterlibatan masyarakat juga perlu dilakukan.
"Untuk Indonesia, transisi energi merupakan inti pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Transisi energi sangat krusial dalam memastikan tujuan SDGs," tegas Arifin secara virtual, Senin (15/3) petang.
Kebijakan pertama adalah reformasi subsidi energi, sekaligus menjaga keterjangkauan dan keamanan pasokan energi. Di samping itu, pemerintah juga telah menjalankan program mandatori biodiesel 30% (B30).
Program tersebut dipandang sangat penting untuk mengurangi impor bahan bakar fosil. Pemerintah tidak hanya memanfaatkan kelapa sawit sebagai sumber bahan bakar nabati sebagai alat untuk mengurangi emisi, tetapi juga mencari peluang untuk pembangunan ekonomi yang lebih besar.
"Target transisi energi kami ditetapkan dengan target yang ambisius menuju energi bersih," jelas Arifin.
Baca Juga: PLN bakal optimalkan pemanfaatan FABA PLTU hingga memiliki nilai ekonomi
Arifin menjelaskan kalau saat ini Indonesia tengah mengembangkan co-firing biomassa pada beberapa pembangkit listrik, dan berusaha untuk memperluas skala penggunaan teknologi ini. Pihaknya juga mengevaluasi potensi kombinasi antara clean coal technology, co-firing biomassa, dan CCS/CCUS (Carbon Capture, Utilization, and Storage).
Selain itu, Indonesia juga sangat ingin berpartisipasi dalam pengembangan Kendaraan Listrik dan industri energi lanjutan. Transisi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan membutuhkan banyak sumber daya mineral, sebagai sumber daya pada industri teknologi bersih dan terbarukan.
"Strategi kami berfokus untuk meningkatkan industri ekstraktif yang memiliki nilai tambah, termasuk industri mineral guna mendukung pengembangan industri dalam negeri, inovasi teknologi, dan penciptaan lapangan kerja," lanjutnya.
Selanjutnya: Pemerintah Lelang Proyek Transmisi Listrik, Dipastikan Swasta Terlibat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News