Reporter: Gentur Putro Jati | Editor: Didi Rhoseno Ardi
JAKARTA. Merosotnya harga komoditi pertambangan belakangan ini juga berlaku untuk timah. Pemerintah Provinsi Bangka Belitung sebagai pemilik daerah penghasil timah paling besar di Indonesia itu, menyiasati penurunan harga tersebut dengan menetapkan dua kebijakan yaitu mengizinkan smelter skala kecil untuk beroperasi kembali serta mencabut aturan pembatasan ekspor timah yang sebelumnya sempat diberlakukan.
Data dari Departemen Perdagangan menyebutkan jumlah ekspor timah sepanjang November 2008 adalah 4.381,36 ton, alias merosot 47% ketimbang ekspor pada bulan yang sama tahun lalu 8.294,72 ton.
Menurut Gubernur Bangka Belitung Eko Maulana Ali, hanya empat smelter milik PT Timah Tbk, PT Koba Tin, PT Yinchenindo Mining Industry dan PT Mitra Stania Prima yang masih melakukan ekspor dari 22 smelter yang mengantongi izin.
"Kalau kondisi seperti ini terus berlanjut, penambang lokal bisa mati. Makanya Pemerintah Provinsi mengizinkan smelter skala kecil untuk beroperasi kembali," ujar Eko, akhir pekan lalu.
Sebelumnya, pada Oktober lalu Gubernur Eko pernah menitahkan smelter skala kecil milik perusahaan tambang lokal untuk menghentikan produksinya. Pasalnya, harga timah di bulan Mei sempat melonjak sampai US$ 25.500 per ton sehingga upaya untuk kembali mendongkrak harga dilakukan dengan membatasi produksi yang salah satunya dengan melarang smelter skala kecil untuk berproduksi. Sedangkan, harga timah yang tercatat di London Metal Exchange per 14 Desember 2008 adalah US$ 12.245 per ton alias terkoreksi 51,98% dibanding posisi harga tertingginya Mei lalu.
Selain kembali mengizinkan smelter skala kecil untuk beroperasi kembali, Eko juga menandaskan akan mencabut Peraturan Gubernur Provinsi Bangka Belitung Nomor 27/2007 tentang Perdagangan Timah. Isi dari aturan tersebut adalah Gubernur membatasi ekspor timah batangan dari provinsi nya maksimal 90.000 ton per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News