Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak Pemerintah untuk segera memperbaiki tata kelola garam nasional dari tingkat hulu hingga hilir. Persoalan krisis garam akibat dampak cuaca ekstrem seharusnya dapat diprediksi.
Selama ini pemerintah tidak pernah berupaya serius memperbaiki kebijakan dan aksi pengelolaan komoditas pergaraman nasional.
Mandat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 kepada pemerintah untuk melakukan perlindungan dan pemberdayaan petambak garam kecil tidak pernah dirasakan dengan tiadanya peta jalan perlindungan dan pemberdayaan petambak garam.
Krisis garam nasional tejadi secara berulang setiap tahunnya yang bermula tata kelola yang buruk dari komoditas garam. Merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada lima tahun (2011-2015) luas lahan tambak garam rakyat menunjukkan peningkatan rata-rata 1,98 % setiap tahunnya, namun produktivitas mengalami penurunan dari 89,72 ton/ha menjadi 84,20 ton/ha.
Lebih parah, pada tahun 2013, produktivitas menurun dari 91,70 ton/ha pada tahun sebelumnya menjadi 39,62 ton/ha.
“Gejala ini semestinya menjadi perhatian serius dari pemerintah, namun fakta menunjukkan praktek importasi menjadi pilihan pertama, tanpa ada upaya akselerasi kualitas garam dari tambak rakyat. Sehingga, kualitas garam yang diproduksi oleh rakyat tidak pernah akan mampu memenuhi kebutuhan garam untuk industri yang selalu mengalami kekurangan pasokan“ demikian disampaikan Niko Amrullah Wasekjen KNTI di Jakarta , Jumat (28/7).
KNTI mengusulkan sekurang-kurangnya 4 solusi inovatif yang dapat dilakukan. Pertama, penguatan kelembagaan ekonomi petambak garam dengan peningkatan kapasitas pengelolaan. Kelembagaan yang dibentuk pemerintah dalam mengurus garam diminta bersinergi dengan tata kelola lokal masyarakat yang telah ada, dan dapat diperkuat dengan keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).
Kedua, penguatan kapasitas modal dan kapabilitas pengelolaan modal petambak garam rakyat. Untuk hal ini harus ada pendampingan intensif kepada petambak yang disesuaikan dengan standar garam industri. Sehingga potensi luas tambak rakyat yang mencapai 25,766 ha dapat dioptimalkan secara penuh.
Ketiga, modal sosial yang kuat dari masyarakat, terbukti mampu menjaga ritme produksi karena rasa saling memiliki memunculkan etos kerja yang tinggi demi kemakmuran bersama. Budaya lokal ini menjadi pilar penting guna mensukseskan agenda-agenda besar dari pemerintah.
Keempat, penerapan teknologi tepat guna menjadi keharusan agar proses produksi dapat lebih adaptif terhadap perubahan iklim.
Terakhir, meroketnya harga garam saat ini harus menjadi momentum pemerintah guna menetapkan peta jalan industri garam nasional yang dikolaborasikan dengan usaha tambak rakyat. Kolaborasi dengan rakyatnya sendiri, tentu akan menjadi prestasi yang mewah bagi kepemimpinan Joko widodo dan Jusuf Kalla, tutup Niko.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News