kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.933.000   17.000   0,89%
  • USD/IDR 16.378   49,00   0,30%
  • IDX 7.859   -31,86   -0,40%
  • KOMPAS100 1.103   -7,60   -0,68%
  • LQ45 822   -6,76   -0,82%
  • ISSI 265   -0,92   -0,35%
  • IDX30 425   -3,33   -0,78%
  • IDXHIDIV20 494   -1,99   -0,40%
  • IDX80 124   -0,75   -0,60%
  • IDXV30 131   0,35   0,27%
  • IDXQ30 138   -0,83   -0,60%

Krisis, Sistem Sub Kontrak Industri Garmen Kian Marak


Senin, 20 April 2009 / 07:49 WIB
Krisis, Sistem Sub Kontrak Industri Garmen Kian Marak


Reporter: Nurmayanti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Pengusaha memiliki banyak cara untuk mempertahankan usahanya. Departemen Perindustrian (Depperin) menemukan tren baru berbisnis di industri garmen sebagai upaya mempertahankan usaha. Salah satu indikasinya, mulai banyak perusahaan besar garmen yang menyerahkan sebagian produksinya atau sub kontrak kepada Industri Skala Kecil dan Menengah (IKM). Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkecil biaya produksi dan mempertahankan usaha.

Meski begitu, perusahaan besar tetap memantau dan memberikan bantuan teknik kepada IKM yang memperoleh pesanan. Sebab, mereka ingin memastikan produknya yang diproduksi IKM sesuai dengan standar perusahaan.

Menurut Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Depperin Fauzi Aziz, sebenarnya, sistem sub kontrak telah ada sebelum krisis melanda dunia. Namun, pada saat krisis sekarang ini, penerapan sistem sub kontrak menjadi lebih diminati lagi oleh perusahaan besar. Sebab, mereka menilai, hal ini akan mengurangi biaya produksi dari berbagai hal mulai biaya tenaga kerja maupun energi.

Salah satu bukti dari maraknya tren usaha dengan sistem sub kontrak marak terjadi di daerah penghasil batik terbesar di Indonesia yakni Pekalongan, Jawa Tengah. Contoh perusahaan yang telah menerapkan sistem ini adalah PT Pismatex Textile Industry yang memproduksi sarung bermerek Gajah Duduk. Prismatex memberikan sub kontrak kepada IKM sekaligus memberikan bantuan teknik seperti memilih mesin yang baik maupun
cara berproduksi.

Fauzi berharap, sistem sub kontrak kepada IKM ini juga terjadi di daerah lain. Sebab, sistem ini dinilai memberikan keuntungan bagi industri skala besar dan IKM. Masing-masing tetap memperoleh peluang tumbuh karena saling memberikan peluang usaha.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Utomo mengatakan, ambruknya perekonomian di negara maju seperti Amerika, Jepang dan Eropa berdampak besar pada industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional. Pengusaha memperkirakan, ekspor TPT sepanjang kuartal pertama tahun ini melorot hingga 20% dari US$ 2,5 miliar menjadi hanya US$ 2 miliar. “Itu sebabnya, produsen melakukan berbagai cara untuk mempertahankan usahanya seperti dengan mengurangi biaya produksi,” kata Ade.

Salah satu solusi untuk membantu pengusaha TPT, pemerintah diminta memaksimalkan perjanjian perdagangan bebas ASEAN yang tertuang dalam ASEAN Free Trade Agreement (AFTA). “Kalau kita bisa memasok 10% ke kawasan ASEAN, artinya potensi pasar sekitar US$ 1 miliar bisa kita rebut sehingga Indonesia bisa lepas dari masalah kelesuan pasar di Jepang, Eropa dan AS,” harapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×