Reporter: Aprillia Ika | Editor: Didi Rhoseno Ardi
JAKARTA. Gara-gara kurs rupiah tidak stabil, tiga dari enam pemain impor motor sport completely built up (CBU) merek motor Jepang rontok. Para importir umum tersebut tertekan akibat imbas krisis global. Tak jarang, para importir umum tersebut harus menjual rugi stok mereka.
Padahal, pasar motor CBU ini hanya 1% dari total pasar motor nasional. Atau hanya sekitar 50 ribu unit per tahun. Segmennya pun, hanya sebatas kalangan berduit atau kalangan pehobi moge saja.
Pengalaman tersebut dialami Hendrik, pemilik dealer motor sport CBU Probike di bilangan jalan Panjang, Jakarta Barat. Menurut Hendrik, tiga kendala yang saat ini dihadapinya antara lain adalah ketidakstabilan kurs, turunnya daya beli masyarakat, serta keluarnya model-model motor sport baru yang harus ia stok.
Akhir tahun 2008 ini, perusahaan Hendrik juga tertekan lantaran perusahaan pembiayaan yang biasanya bermitra dengannya sedang berhemat mengucurkan kredit. Tak pelak, penjualan Hendrik turun 40% dari penjualannya tahun 2004 sampai tahun 2006 lalu.
"Kalau dulu, saya bisa jual 100 CBR 150 CC per bulan. Sekarang, hanya bisa jual sekitar 60 unit saja," lanjut Hendrik. Padahal, untuk bulan Desember ini Hendrik masih mempunyai stok sekitar 90 unit CBR 150 CC.
Akhirnya, mau tak mau Hendrik menjualnya dengan kurs Rp 10.000 per dolar AS. "Seharusnya harganya Rp 42 juta jika kursnya 12.500. Akan tetapi kami jual Rp 37 juta untuk menghabiskan stok akhir tahun," lanjut Hendrik.
Tak hanya CBR 150 CC yang seret penjualannya. Honda Phantom yang dijual Hendrik pun ikutan seret. Dari 40 unit stoknya bulan ini, baru laku 15 unit saja.
Masing-masing dari motor-motor sportnya Hendrik mengaku mendapat margin kurang dari 10%. Lain haknya dengan moge Yamaha F6 atau Honda CBR 1000. "Untuk moge, saya bisa dapat margin 20% ke atas. Tapi dalam sebulan yang beli paling hanya satu atau dua," ujarnya.
Lantaran bisnis CBU seret terganjal kurs, Hendrik lantas berjualan spare part dan knalpot untuk Kawasaki Ninja. Dari situ, Hendrik mendapat laba kotor Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar saban bulannya.
Senada dengan keterpurukan Hendrik, Andree Jass Sunarko, GM Ducati Supermoto Indonesia juga bilang bahwa perusahaannya mengalami tekanan yang sama akibat kenaikan dolar AS.
Ducati Supermoto Indonesia sendiri turun penjualannya sampai 50%. "Kalau tahun 2007 lalu kita bisa jual 21 Ducati, sampai Desember 2008 ini baru menjual 14 Ducati," ujar Andree.
Rata-rata, dari Ducati yang terjual adalah tipe Monster dengan harga 200 jutaan. "Dari situ, kami masih mendapat margin sebesar 10%," lanjut Andree.
Gara-gara penjualannya anjlok drastis, Ducati Supermoto lantas menggantungkan keberlangsungan perusahaannya dari berjualan spare part. "Saban bulan rata-rata laku Rp 200 juta sampai Rp 300 juta," kata Andree. Walaupun begitu, Andree tidak tahu bagaimana nasib perusahaannya tahun 2009 mendatang. "Tutup atau enggak, kami belum tahu," pungkasnya.
Aprillia Ika
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News