Reporter: Juwita Aldiani | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Rencana merger antara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atawa PGN dengan PT Pertamina Gas (Pertagas) mestinya bisa menurunkan harga gas di tanah air. Itu seiring konsolidasi peran dan peningkatan efisiensi di antara kedua perusahaan pelat merah tersebut.
Namun ada syarat yang harus dipenuhi. Pengamat energi yang sekaligus sekaligus Profesor Ilmu Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi berpendapat, jika kelak PGN yang bertugas sebagai distributor, mereka harus memperbanyak pembangunan pipa gas.
Apabila ketersediaan pipa untuk menyalurkan gas sudah mencukupi, distribusi gas dari hulu ke hilir akan lancar. "Sehingga biayanya akan lebih murah," ujar Fahmy kepada KONTAN, Selasa (17/11).
Di sisi lain, PT Pertamina (Persero) juga harus berperan dengan memperbanyak sumber gas di dalam negeri dan mengurangi impor gas. Pasalnya, saat ini penentuan harga gas di dalam negeri tergantung pada harga gas dunia. Kenyataan tesebut semakin diperparah dengan penetapan harga jual gas yang tidak transparan.
Dus, Fahmy berharap, ke depan pemerintah memiliki posisi tawar untuk menentukan harga gas di dalam negeri. Hal itu mungkin terjadi jika mayoritas produksi gas nasional dipenuhi oleh industri di dalam negeri sendiri.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementrian Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja mengakui, harga gas tak merata karena belum ada sinkronisasi di masing-masing wilayah. "Kita masih menggunakan sistem point to point, jadi belum di-mix harganya," aku dia.
Alhasil, harga gas di wilayah yang dekat dengan sumur produksi gas lebih murah ketimbang yang jauh dari sumur produksi. Begitu pula sebaliknya. Diharapkan, merger antara PGN dan Pertagas bisa menjadi jalan pembuka bagi tata kelola distribusi migas di Indonesia.
Setali tiga uang, Direktur Bina Program Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Migas) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi menyebutkan, perlu sistem yang jelas dalam menentukan harga gas. "Kalau jadi satu perusahaan, kan, biaya-biayanya bisa dikonsolidasikan dalam satu sistem yang lebih jelas," kata Agus.
Asal tahu saja, peran PGN dan Pertamina yang masing-masing bisa mendistribusikan gas membikin keduanya berselisih. Contoh kasus di Sumatera Utara, PGN menganggap alokasi harga gas yang diberikan kepada Pertamina terlalu mahal. Sementara Pertamina menganggap komponen harga mereka sudah ditetapkan pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News