Reporter: Dian Sari Pertiwi | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) pesimistis rencana swasembada garam industri yang dicanangkan pemerintah pusat tercapai pada tahun depan. Sebab, ia masih melihat berbagai persoalan belum teratasi di industri ini.
Sekretaris AIPGI Cucu Sutara menyebut, permasalahan utama pengembangan garam industri lokal adalah ketersediaan lahan yang umumnya hanya sekitar 0,5 hektare (ha)–1 ha. Ini membuat sulit memproduksi garam dengan kualitas baik.
Agar produksi garam industri berkualitas tinggi, ia menyarankan pemerintah agar memperluas lahan garam. Luasan lahan produksi garam nasional sekitar 42.300 ha, terdiri dari lahan garapan 25.000 ha dan lahan potensial 17.200 ha. Lahan potensial yang layak dikembangkan untuk menggenjot produksi garam industri terletak di Nagekeo, Flores, dan Kupang seluas 2.400 ha, dan Teluk Kupang sekitar 7.800 ha. “Tapi untuk menggarap lahan potensial garam tidak mudah dan dipastikan masih memerlukan waktu yang cukup lama,” kata Cucu.
Pasalnya, di atas lahan-lahan tersebut terdapat hak guna usaha (HGU) yang dimiliki oleh pihak swasta. Makanya pengembangan lahan pergaraman tersebut perlu didukung oleh seluruh pemangku kepentingan dari pemerintah pusat yakni Kementerian PU, Kementerian Tata Ruang/BPN, dan pemerintah daerah.
Selain masalah lahan, asosiasi juga menyoroti soal harga garam. Ketua AIPGI Tony Tanduk menambahkan, stabilitas harga tergantung dari ketersediaan bahan baku. Saat ini, kondisi lahan tambak garam di Indonesia masih tak sebaik di negara lain. Meski bersumber dari laut, proses produksi garam membutuhkan daratan yang dekat dengan bibir pantai. Juga tak sedikit dari pemilik lahan beralih ke bisnis lain yang lebih bernilai jual tinggi ketimbang garam. “Harga garam rakyat cuma Rp 400–Rp 600 per kg. Padahal lokasi strategis di bibir pantai lebih menguntungkan untuk wisata ketimbang lahan garam,” sebut Tony.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News