Reporter: Leni Wandira | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyusunan Rancangan Peraturan Kesehatan (R-Permenkes) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 kembali memunculkan polemik.
Penyusunan menuai polemik karena sarat intervensi asing dengan dengan susupan pasal-pasal Framework Convention on Tobacco Contorl (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau yang diinisiasi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang mendorong diterapkannya kemasan rokok tanpa identitas merek di Indonesia.
Akademisi dari Fisipol Universitas Negeri Surabaya Firre An Suprapto, mengingatkan bahwa Kemenkes tidak bisa begitu saja mengadopsi kebijakan internasional, terutama yang tidak mengikat Indonesia.
Baca Juga: Punya Efek Pengganda, Pemerintah Didesak Lindungi Industri Kretek Nasional
"Indonesia belum meratifikasi FCTC, jadi tidak bisa dijadikan landasan hukum atau peraturan nasional. Regulasi kesehatan perlu mempertimbangkan berbagai sisi, termasuk sisi ekonomi dan sosial," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (1/4).
Firre juga menekankan bahwa kebijakan yang dihasilkan harus melibatkan semua pihak yang terdampak, termasuk industri dan masyarakat yang bergantung pada sektor ini.
"Kemenkes harus aktif melakukan sosialisasi dengan melibatkan para pihak yang terkena dampak agar regulasi yang dihasilkan tidak menimbulkan polemik lebih lanjut," tambah Firre yang juga menjabat sebagai Sekjen Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI).
Lebih lanjut, Firre menegaskan pentingnya sinkronisasi antara kebijakan kesehatan dengan kebijakan pembangunan ekonomi. Dalam hal ini, peraturan terkait pertembakauan tidak hanya harus berorientasi pada kesehatan masyarakat, tetapi juga pada aspek perekonomian, sosial, dan keberlanjutan sektor usaha.
"Kebijakan harus selaras dengan undang-undang perencanaan pembangunan nasional, serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi," paparnya.
Baca Juga: Gaprindo: Aturan Kemasan Rokok Tanpa Identitas akan Picu Efek Domino
Polemik ini juga mendapat perhatian dari Anang Zunaedi, Wakil Ketua Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (AKRINDO). Menurutnya, penerapan regulasi yang ketat justru akan semakin memberatkan masyarakat, terutama pedagang kecil yang bergantung pada penjualan rokok.
“Kami menentang keras PP Kesehatan dan Rancangan Permenkes ini, karena kebijakan ini akan membatasi gerak pedagang. Saat ini, kondisi ekonomi tengah melambat, dan peraturan seperti larangan penjualan rokok di dekat Kawasan Tanpa Rokok (KTR) hanya akan memperburuk keadaan,” ujar Anang.
Anang juga menilai bahwa kebijakan Kemenkes yang terlalu mengatur ranah ekonomi dan perdagangan dapat merugikan para pelaku usaha kecil yang selama ini tidak membebani pemerintah.
“Ini bukan sekadar soal kehilangan pendapatan, tapi ancaman terhadap kelangsungan usaha dan kesejahteraan masyarakat. Tanpa adanya perhatian terhadap dampak ekonomi, peraturan ini berpotensi menambah ketegangan sosial,” tambahnya
AKRINDO menyarankan agar pemerintah lebih bijak dalam melihat dampak ekonomi dari regulasi ini. Menurutnya, peraturan-peraturan yang terlalu eksesif akan semakin membebani masyarakat, terutama di tengah kondisi perekonomian yang stagnan.
"Pedagang kecil yang sudah kesulitan dengan penurunan daya beli masyarakat justru dihadapkan pada ancaman penutupan usaha,” tutup Anang.
Baca Juga: Pelaku Industri Tembakau Khawatirkan Dampak Penyeragaman Kemasan Rokok
Selanjutnya: 25 Rekomendasi HP 1 Jutaan Terbaik di Bulan April 2025
Menarik Dibaca: KAI Layani 2 Juta Penumpang Selama Angkutan Lebaran
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News