Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prioritas Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) untuk proyek hiliriasi di sektor fosil seperti gasifikasi batubara menjadi bentuk dimetil eter (DME) sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG), pembangunan kilang minyak berkapasitas 500 ribu barel di Sumatera hingga hilirisasi mineral lainnya seperti nikel, tembaga dan bauksit dinilai akan memiliki efek samping.
Menurut Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah prioritas Danantara untuk membiayai proyek bahan bakar fosil membuat upaya untuk Indonesia mencapai target net zero emission tahun 2060 akan semakin sulit tercapai.
"Alasannya sederhana, karena insentif malah lebih banyak untuk proyek dengan intensitas emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang tinggi dibandingkan untuk energi terbarukan," ungkapnya, Minggu (23/03).
Baca Juga: 5 Risiko Pembiayaan Danantara Jika Fokus pada Energi Fosil
Padahal menurutnya menggalang pembiayaan untuk energi terbarukan pun bukan hal yang mudah. Seharusnya dengan kondisi kesulitan pembiayaan, maka prioritas pembiayaan itu harus diprioritaskan untuk akselerasi pembangunan dan operasi energi terbarukan.
Selain itu, Fajri juga menyoroti pada peluang untuk meminimalkan biaya yang timbul dari penggunaan bahan bakar fosil.
"Kalau Indonesia masih fokus pada pengembangan bahan bakar fosil, biaya-biaya kesehatan dan lingkungan hidup yang timbul akan semakin besar," tambahnya.
Ia menambahkan, akan ada nilai ekonomi dalam bentuk biaya yang bisa dihemat kalau Indonesia mau segera berhenti menggunakan bahan bakar fosil.
"Selain itu, tentu saja potensi keuntungan ekonomi dari pengembangan energi terbarukan pun menjadi tidak bisa diperoleh secara optimal seiring Pemerintah Indonesia mengulur waktu untuk segera transisi dari bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan," jelasnya.
Disisi lain, Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan keputusan Danantara untuk lebih dulu membiayai proyek di sektor energi fosil menurutnya tergantung skala prioritas dan pertimbangan energy security dan affordability harga energi.
"Fosil yang lebih diprioritaskan karena 70 % bauran energi kita memang masih bersumber dari fosil. Dimana migas sekitar 40-45% dan coal 25-30%," katanya.
Prioritas ke fosil menurut Pri, tidak berarti meninggalkan target NZE tahun 2060. Pengembangan energi fosil sekarang dan ke depan juga akan mengadopsi teknologi yg bisa menurunkan atau menyerap karbon, seperti Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dan clean coal.
"Juga ada mekanisme karbon trading baik skala nasional regional dan global yang bisa digunakan untuk menyelaraskan dengan pencapaian target NZE," ungkapnya.
Dari segi pembiayaan, Pri juga menyebut, Danantara tidak perlu menanggung sendiri biaya investasi dari proyek-proyek hiliriasi yang ada.
"Potensi investasi yang belum bisa berjalan karena adanya gap dalam keekonomian, gap tersebut mestinya bisa diisi dengan pembiayaan dari Danantara," katanya.
Ini membuat investasi dari Danantara tidak harus selalu green field investment. Menurutnya, pemerintah juga tidak perlu anti investasi dari luar untuk menyukseskan proyek ini.
"Justru semua potensi investasi harus dimanfaatkan, direalisasikan dengan support Danantara itu," tutupnya.
Baca Juga: Prabowo Minta Masukan Investor Gobal Roy Dalio soal Pengelolaan Investasi Danantara
Selanjutnya: Sejumlah Indikator Ini Menunjukkan Daya Beli Masyarakat Semakin Mengkhawatirkan
Menarik Dibaca: Promo Hokben Holiday sampai 31 Maret, Makan Hemat Berdua Mulai Rp 34.000-an Per Orang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News