kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.759.000   -6.000   -0,34%
  • USD/IDR 16.672   -76,00   -0,46%
  • IDX 6.226   65,25   1,06%
  • KOMPAS100 877   9,10   1,05%
  • LQ45 689   8,30   1,22%
  • ISSI 196   1,38   0,71%
  • IDX30 362   3,82   1,07%
  • IDXHIDIV20 437   3,33   0,77%
  • IDX80 99   1,08   1,10%
  • IDXV30 106   0,63   0,60%
  • IDXQ30 119   1,26   1,07%

5 Risiko Pembiayaan Danantara Jika Fokus pada Energi Fosil


Minggu, 23 Maret 2025 / 16:23 WIB
5 Risiko Pembiayaan Danantara Jika Fokus pada Energi Fosil
ILUSTRASI. Foto KONTAN/Adrianus Octaviano. Hilirisasi di sektor energi fosil menjadi salah satu sektor penting yang akan dibiayai oleh Danantara pada tahap pertama.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hilirisasi di sektor energi fosil menjadi salah satu sektor penting yang akan dibiayai oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada tahap pertama.

Energi fosil dalam hal ini adalah hilirisasi batubara dalam bentuk dimetil eter (DME) sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG), serta pembangunan kilang minyak berkapasitas 500 ribu barel di Sumatera.

Fokus utama ini bahkan menggeser investasi di sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam negeri. Menurut Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi, proyek EBT masih menunggu antrian, sehingga masuk dalam gelombang kedua.

Terkait susunan prioritas pembiayaan dari Danantara, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebut bahwa terdapat lima alasan beresiko tinggi yang akan dihadapi Indonesia jika Danantara fokus pada pengembangan pembiayaan fosil.

Baca Juga: Danantara Berpeluang Masuk Investasi Panas Bumi di Indonesia

"Pertama, sektor fosil yang dibiayai tidak ekonomis. Contohnya gasifikasi batubara sudah banyak ditinggal oleh investor Amerika dan China karena biaya investasi mahal. Bahkan untuk menggantikan LPG, hitungannya lebih murah impor LPG," ungkap Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira kepada Kontan, Minggu (23/03).

Kedua, hilirisasi sektor fosil menurut Bhima membutuhkan subdisi besar-besaran. Melihat situasi fiskal yang saat ini sudah sangat berat, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan semakin terbebani jika harus ditambah dengan subsidi energi dan kompensasi yang tinggi.

"Untuk gasifikasi, harga batubara yang cenderung fluktuatif saat ini juga akan mempengaruhi perencanaan subsidi proyek yang dibiayai Danantara," tambahnya.

Ketiga, menurut Bhima pemerintah juga harus melihat langkah lembaga keuangan dunia untuk memberikan pembiayaan di sektor energi baru terbarukan.

"Sektor fossil sudah banyak ditinggal lembaga keuangan internasional karena dianggap stranded asset dan bertolak belakang dari upaya menuju target Net Zero Emission," kata dia.

Keempat menurutnya, sovereign credit rating Danantara bisa lebih rendah dibandingkan Surat Berharga Negara (SBN) karena mendanai proyek fosil yang berisiko.

"Kalau cost of fund Danantara terlalu mahal, maka percuma saja ada konsolidasi aset BUMN," jelasnya.

Kelima, jika dibiarkan berlarut, Danantara diprediksi akan mengalami miss opportunity disaat Sovereign Wealth Fund (SWF) lainnya masuk ke sektor energi terbarukan.

"Contohnya dana kelolaan Temasek (SFW milik Singapura) yang telah menyalurkan investasi S$ 44 miliar dollar (sekitar Rp 528 triliun) di sektor berkelanjutan," tambahnya.

Asal tahu saja, gasifikasi batubara dalam bentuk DME dan pembangunan kilang minyak disejumlah wilayah Indonesia akan menjadi proyek-proyek utama yang dibayai Danantara pada tahap awal.

Gasifikasi batubara misalnya, menjadi proyek terbesar dari 21 proyek hilirisasi tahap awal yang telah disetujui pemerintah. Pemerintah menargetkan ada empat proyek gasifikasi dengan investasi mencapai US$ 11 miliar (setara dengan Rp 181,5 triliun).

Adapula target pembangunan kilang minyak berkapasitas 500 ribu barel di Sumatera, tepatnya di Pulau Nipa, provinsi Batam. Menurut Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi pembangunan ini akan memakan biaya sekitar US$ 12,5 miliar atau setara Rp 205,54 triliun.

Disamping target pembangunan kilang, Fahmy juga menyoroti cadangan minyak yang saat ini dimiliki Indonesia. Proyek pembangunan kilang menurutnya akan terbengkalai jika tidak dibarengi dengan peningkatan lifting minyak.

"Cadangan minyak kita mau habis, karena beberapa tahun terakhir banyak perusahaan migas asing hengkang dari Indonesia, saya pikir proyek ini tidak layak untuk diteruskan," pungkas Fahmy.

Baca Juga: Investasi Danantara: Fokus Utama Investasi Migas, EBT Gelombang Kedua

Selanjutnya: Detail Jadwal Buka Puasa Kota Samarinda Kaltim Minggu (23/3) Ramadhan 2025

Menarik Dibaca: Hujan Masih Turun di Daerah Ini, Cek Prediksi Cuaca Besok (24/3) di Jawa Timur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×