kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,43   -4,87   -0.54%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menanti Jakarta Bebas Rokok


Rabu, 17 Februari 2010 / 09:30 WIB
Menanti Jakarta Bebas Rokok


Reporter: Raymond Reynaldi |

Pada Februari 2005, Perda Nomor 2 Tahun 2005 tentang larangan merokok yang ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso, mulai berlaku. Saat itu Pemprov DKI Jakarta gencar melakukan sosialisasi dan pelaksanaan peraturan tersebut, berikut pengawasan oleh para petugas dari Dinas Keamanan dan Ketertiban.

Sayang, upaya itu seolah tak berasa efeknya. Kini Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo harus bekerja keras untuk menegakkan Perda ini. Razia yang kerap dilakukan aparat berikut denda bagi mereka kedapatan merokok di tempat umum, tak membikin perokok ibukota jera.

Perda larangan merokok hanya terlihat garang di atas kertas karena menyertakan ancaman hukuman penjara enam bulan atau denda Rp 50 juta. Namun, beleid ini digelindingkan dengan semangat angin-anginan. Perda antirokok tersebut berjalan 100%.

Sejak awal tahun 2010 lalu, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPHLD) DKI Jakarta kembali gembar-gembor bakal mulai menyusun Perda khusus tentang larangan merokok karena bahaya nikotin bagi kesehatan. “Saya berharap warga Jakarta tidak menganggap ini sebagai gertak sambal, sehingga harus benar-benar ditaati dan dipatuhi,” tegas Kepala BPLHD DKI Jakarta Peni Susanti, tentang rancangan aturan baru yang bakal lahir tersebut.

Membatasi peredaran

Pemda DKI jelas tidak sendirian dalam hal ini. WHO memperkirakan, jumlah kematian akibat merokok naik dari 5 juta jiwa mencapai 8 juta jiwa di seluruh dunia pada tahun 2020. Sekitar 70% korbannya berasal dari negara-negara berkembang.
Sementara di Indonesia, saat ini korban meninggal karena rokok mencapai 427.000 jiwa tiap tahun atau 1.172 jiwa per hari.

“Karena itu, kami akan menggalakkan lagi pokja, LSM, komite sekolah, dan kegiatan rohis untuk bersama-sama melakukan gerakan menurunkan kegiatan merokok yang tak baik ini di kalangan pelajar dan wanita usia muda,” kata Fauzi Bowo.
Berkaitan dengan rencana itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengusulkan sejumlah langkah yang dapat ditempuh Pemprov DKI untuk mengendalikan konsumsi rokok.

Pertama, menaikkan pungutan cukai terhadap rokok yang dijual bebas. “Cukai kita sebesar 44% itu terendah di seluruh dunia. Thailand itu mengenakan cukai 70% dari harga ritel,” tutur anggota Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi.

Kedua, peredaran dan durasi promosi atau iklan produk rokok harus dibatasi. “Kegiatan dengan sponsor rokok pun perlu dibatasi, karena percuma ada larangan merokok kalau iklannya tetap beredar,” imbuhnya.

Ketiga, pemerintah harus melarang produk rokok diperdagangkan secara terbuka. “Jangan dijual di warung-warung bersama dengan sembako. Itu justru terlihat seperti membiarkan masyarakat mendekati rokok,” ungkap dia.

Tulus mencontohkan, Pemprov DKI bisa bisa mengikuti Thailand yang sukses menahan laju pertumbuhan perokok. “Sudah 25 tahun mereka mengendalikan konsumsi rokok sehingga jumlah perokok di sana stabil sekitar 10 jutaan,” katanya.

Tulus mengingatkan, pengendalian konsumsi rokok ini tidak sertamerta mematikan bisnis rokok di Indonesia, apalagi sampai terjadi penutupan pabrik serta pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

“Pemerintah harus memikirkan biaya sosial ekonomi akibat rokok. Kalau dengan cukai saat ini pemerintah dapat sekitar Rp 45 triliun -Rp 50 triliun, tapi biaya sosial ekonominya itu bisa sampai empat kali lipat,” tutur dia. n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×