Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah berkomitmen untuk menggalakan pembangunan infrastruktur guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Peningkatan anggaran infrastruktur pada APBN tahun 2017 menjadi 18,6% terhadap belanja negara ternyata masih belum dapat menutupi kekurangan pendanaan pembangunan infrastruktur. Untuk itu diperlukan keterlibatan pihak swasta.
Andre Rahadian, Partner dan Founder Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP) melihat, masalah pendanaan, keterlibatan swasta juga dibutuhkan untuk menjawab permasalahan lain, seperti perluasan layanan, peningkatan kualitas, dan efisiensi pelayanan. "Pendanaan merupakan salah satu kunci utama dalam pembangunan infrastuktur," kata Andre kepada KONTAN, Kamis (7/12).
HPRP merupakan kantor hukum Indonesia yang memberikan bantuan dan advis strategis untuk klien domestik dan global, baik perusahaan, perorangan, maupun institusi pemerintah. Area praktek HPRP meliputi korporasi dan komersial, ketenagakerjaan dan litigasi, layanan finansial, intellectual property, real property, sumber daya dan infrastruktur, serta perdagangan internasional.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah swasta yang kebanyakan berorientasi pada bisnis dan keuntungan, tertarik untuk terlibat? Bagaimana upaya menarik swasta untuk terlibat dalam proyek pembangunan infrastruktur, sehingga tercapai tujuan percepatan pembangunan infrastruktur?
Andre menjelaskan, sebagai langkah awal, pemerintah telah memprioritaskan infrastruktur dalam rencana pembangunan nasional. Melalui Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017, pemerintah telah menetapkan 245 proyek strategis nasional, dua program pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dan satu program industri pesawat.
Selain itu, pemerintah telah membentuk Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), PPP Unit pada Kementerian Keuangan, dan Kantor Bersama Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) guna mendukung percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia.
Pemerintah terus berusaha menjaga kesinambungan investasi. Peringkat layak investasi dari Standard and Poor’s, Moody’s Investors Service, dan Fitch Ratings dapat menjadi modal bagi Indonesia untuk menarik investor. Namun Pemerintah juga melakukan upaya lain untuk menarik investor, antara lain dengan memperluas kesempatan investasi asing di Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Selain investasi, pendanaan juga dipertimbangkan dari sumber lain. Karena ruang fiskal APBN saat ini semakin terbatas maka diperlukan sumber alternatif pendanaan lain untuk pembangunan infrastruktur. Andre menyarankan, salah satu alternatif yang dapat menarik swasta adalah melalui pembiayaan investasi non anggaran (PINA) pemerintah yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017.
Sumber PINA dapat berasal dari penanaman modal, dana kelolaan, perbankan, pasar modal, asuransi, lembaga pembiayaan, lembaga jasa keuangan lain dan pembiayaan lain yang sah. "PINA pernah dilakukan oleh PT Sarana Multi Infrastuktur dan PT Taspen yang secara bersama-sama memberikan pembiayaan investasi dalam bentuk ekuitas sebesar Rp3,5 triliun di tahap awal kepada PT Waskita Toll Road, yang saat ini memiliki konsesi untuk 15 ruas jalan tol," ungkap Andre yang juga Sekjen Ikatan Alumni (Iluni) Universitas Indonesia.
Dalam hal ini, peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sangat penting untuk mendorong dan mempercepat pemanfaatan regulasi pasar modal untuk pendanaan infrastruktur. Salah satunya dengan meluncurkan produk dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak investasi kolektif yang diatur dalam Peraturan OJK Nomor 52/POJK.04/2017.
OJK juga telah mengeluarkan aturan yang memungkinkan Lembaga Jasa Keuangan Non-bank untuk menempatkan sebagian investasi asuransi dan dana pensiun pada obligasi untuk pendanaan infrastruktur sebagaimana tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.05/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
Ke depan, OJK juga akan mendorong pemanfaatan instrumen pasar modal untuk pendanaan pembangunan infrastrukture, seperti Efek Beragun Aset (EBA), Dana Investasi Real Esatate, dan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. Penerbitan dan penyempurnaan regulasi yang memungkinkan untuk penerbitan instrumen pasar modal baru seperti Perpetual Bond, Infrastructure Bond dan Project Bond juga akan dilakukan oleh OJK. Perusahaan dan bank juga dapat menerbitkan obligasi yang digunakan untuk pendanaan infrastruktur.
Pemerintah juga telah mengeluarkan pengaturan mengenai kerjasama dengan badan usaha melalui Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dalam Penyediaan Infrastruktur dan peraturan pelaksananya. "Tapi, tingginya risiko dan tidak layaknya proyek secara finansial menjadi hambatan utama dalam KPBU," sebut Andre.
Untuk itu, Pemerintah melalui skema KPBU memberikan fasilitas berupa dukungan kelayakan (viability gap fund) dan insentif perpajakan, jaminan pemerintah, dan pembayaran atas kesediaan layanan kepada badan usaha guna menarik minat dan peran swasta.
Menurut Andre, selain pengembalian dana dan ketepatan waktu penyelesaian proyek, hal yang paling utama bagi pihak swasta adalah adanya jaminan risiko politik. Oleh karena itu, dalam menciptakan iklim investasi yang menarik di bidang infrastruktur, Pemerintah harus mengupayakannya secara menyeluruh, termasuk kepastian hukum dan konsistensi pelaksanaan hukum untuk memberikan perlindungan bagi swasta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News