Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana melarang ekspor produk olahan nikel dengan kadar 30%-40%, serta rencana larangan ekspor timah dalam bentuk ingot atau timah batangan. Jika jadi diterapkan, hal tersebut berpotensi memangkas penerimaan negara.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, jika pemerintah melarang kedua jenis komoditas mineral tersebut, maka penerimaan negara akan turun. Meski demikian, menurutnya kebijakan tersebut akan memiliki keuntungan dalam jangka panjang.
Misalnya, melalui program hilirisasi nikel. Josua bilang, hilirisasi dari timah akan memberikan nilai tambah yang cukup besar dan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menaikkan nilai ekspor, serta meningkatkan pendapatan negara melalui pajak ataupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dikenakan.
“Apalagi jika produksi smelter timah tersebut dapat menghasilkan produk untuk substitusi impor. Tentu ini juga akan membantu kinerja neraca perdagangan,” tutur Josua kepada Kontan.co.id, Senin (27/6).
Baca Juga: Pelarangan Ekspor Timah Akhir 2022 Memantik Pro dan Kontra, Ini Sebabnya
Selain itu, Ia juga menilai, dampak penurunan nilai ekspor terhadap total ekspor Indonesia juga tidak akan sedalam saat larangan ekspor bijih nikel dan bauksit pada 2014 diberlakukan. Hal ini terbukti pada 2021 lalu, nilai ekspor timah Indonesia hanya sebesar US$ 2,4 miliar, atau hanya 1,1% dari total ekspor Indonesia.
Adapun saat ini Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun bahan-bahan yang akan disampaikan ke Presiden Jokowi untuk dijadikan pertimbangan presiden terkait rencana stop ekspor timah.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan, larangan ekspor timah mengharuskan hilirisasi timah lebih cepat. Ini membutuhkan investasi untuk menampung batang timah yang selama ini diekspor.
Menurutnya, ekspor timah selama ini dalam bentuk batangan, bukan ore atau bijih pasir timah. “Sebanyak 98% dalam bentuk ingot (batang timah), hanya 2% untuk pasar lokal (pasir timah),” ujar Ridwan.
Dia menambahkan, ekspor timah dalam bentuk batang selama ini juga turut menaikkan nilai tambah hingga 16 kali lipat.
Baca Juga: Kenaikan Harga Komoditas Jadi Penopang Surplus Transaksi Berjalan
Sementara itu, larangan bijih nikel sebenarnya sudah mulai dilakukan pada 1 Januari 2020. Keputusan itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 yang diteken oleh menteri saat itu, Ignasius Jonan pada 28 Agustus 2019.
Presiden Joko Widodo juga sebelumnya mengungkapkan, larangan ekspor bijih nikel membuahkan dampak positif. Ini terbukti selama 19 bulan neraca perdagangan surplus, dari adanya larangan ekspor bijih nikel.
“Sekarang ini sudah 19 bulan neraca perdagangan surplus, itu dari mana? Dari stop ekspor nikel. Muncul angka US$20,8 miliar. Dulu ekspor tanah yang ada nickel ore paling hanya US$2 miliar setahun, artinya ada lompatan yang tinggi sekali,” papar Jokowi.
Terkini, Pemerintah melalui Kementerian Investasi merencanakan penutupan ekspor untuk produk olahan nikel dengan kadar 30% hingga 40% demi mendorong rantai hilirisasi nikel dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News