Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasokan gas dengan harga kompetitif masih menjadi masalah klasik yang mengusik industri manufaktur. Pembatasan pasokan gas industri kembali menjadi kendala, di tengah posisi Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang sedang merangkak di zona kontraksi.
Pelaku industri mengkhawatirkan pembatasan pasokan gas akan semakin memukul mundur sektor manufaktur. Terutama bagi industri yang memerlukan banyak pasokan gas bumi, baik pada tujuh sektor yang mendapatkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) maupun bagi industri yang tidak menerima HGBT.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengungkapkan kecemasan pelaku industri bermula dari surat PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang menginformasikan adanya pembatasan pasokan gas pada 13 Agustus - 31 Agustus 2025.
Dengan alasan adanya keadaan kahar (force majeure), pada periode tersebut, industri yang berada di Jawa Bagian Barat hanya mendapat volume gas HGBT sebanyak 48%.
Selebihnya, Edy mengatakan pelaku industri dikenakan biaya surcharge sebesar 120% dari harga US$ 14,8 per Million British Thermal Unit (MMBTU) atau setara dengan US$ 17,76 per MMBTU.
Baca Juga: Industri Keramik Bangkit, Tapi Terhimpit Harga Gas Tinggi dan Gempuran Impor
Asaki menyoroti pembatasan volume gas yang dibarengi dengan mahalnya biaya surcharge regasifikasi Liquefied Natural Gas (LNG) memberatkan pelaku industri.
"Asaki sangat menyayangkan kondisi gangguan supply gas yang telah berlarut-larut dengan pembatasan kuota pemanfaatan HGBT dan mahalnya surcharge harga gas regasifikasi LNG, tanpa ada solusi atau perbaikan pasokan gas," kata Edy saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (19/8).
Tak hanya industri keramik, kondisi serupa dirasakan oleh industri kaca. Ketua Asosiasi Produsen Gelas Kaca Indonesia (APGI) Henry T. Susanto menyampaikan, pasokan gas ke pabrik perusahaan anggota APGI sudah menurun drastis sejak tanggal 13 Agustus 2025 malam.
"PGN membatasi pemakaian gas menjadi sebesar 48%. Penurunan tekanan gas ini menyebabkan anggota kami sulit mempertahankan temperatur tungku pembakaran. Banyak pabrik anggota kami stop berproduksi," ungkap Henry.
Gas memegang peranan penting bagi operasional produksi industri kaca, dengan kontribusi sebesar 30% terhadap harga pokok.
"Banyak anggota kami mengurangi produksi sehingga menyebabkan utilitas menurun. Kami belum mendapatkan laporan secara pasti. Tapi kami khawatir (utilisasi) akan turun di bawah 70%," terang Henry.
Padahal, industri keramik dan kaca adalah bagian dari tujuh sektor penerima HGBT sesuai Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 76.K/MG.01/MEM.M/2025. Bersama dengan industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, dan sarung tangan karet.
Baca Juga: Pasokan Gas Murah Dibatasi, Industri: Daya Saing Tergerus
Menurut Henry, anggota APGI tidak pernah menerima penyaluran gas dengan kuota penuh sesuai beleid tersebut. Dia menggambarkan, rata-rata untuk Jawa Bagian Barat hanya menerima sekitar 60% dari kuota. Sisanya harus membayar harga gas regasifikasi sebesar US$ 14,85 per MMBTU.
Sedangkan kuota untuk Jawa Bagian Timur rata-rata sekitar 55%. Walau demikian, area ini memiliki ketersediaan gas yang lebih baik sehingga kelebihan kuota pemakaian dikenakan harga gas biasa atau sekitar US$ 8 - US$ 9 per MMBTU.
Ketua Umum Asosiasi Galvanis Nasional (AGI) Harris Hendraka menegaskan bahwa pembatasan pasokan gas berimbas pada semua industri pengguna gas bumi, tidak hanya terbatas bagi tujuh sektor penerima HGBT.
Adapun, AGI mewakili 23 perusahaan jasa pelapisan struktur besi baja dengan cairan seng cair untuk mencegah korosi pada baja (hot-dip galvanizing).
Harris bilang, keberlanjutan dan kepastian pasokan gas merupakan faktor yang sangat krusial bagi stabilitas produksi, pemenuhan kontrak kerja serta perhitungan biaya. Biaya gas bumi berkontribusi sekitar 11%-15% terhadap total biaya pabrik galvanis.
Pada paruh pertama 2025, utilisasi galvanis nasional terbilang rendah di sekitar level 50%–55%. Tingkat utilisasi mulai membaik hingga naik ke level 70%. Namun, pembatasan pasokan gas kembali menekan industri galvanis.
"Kami juga dibayang-bayangi oleh denda-denda yang harus kami tanggung, apabila proyek-proyek yang kami sedang kerjakan tidak bisa selesai tepat waktu," ungkap Harris.
Baca Juga: Industri Teriak Kekurangan Pasokan Gas, Kementerian ESDM Buka Suara
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan menyayangkan pemberitahuan pembatasan pasokan gas yang mendadak. Pembatasan kuota 48% serta surcharge yang mahal membuat pelaku industri gelagapan untuk tetap bisa memenuhi komitmen dengan pelanggan.
"Dampak kuota gas hanya 48% sangat negatif secara operasional dan finansial. So far, industri tetap mengupayakan tepat janji, meski berdarah-darah," kata Yustinus.
Berdasarkan laporan yang terhimpun pada Selasa (19/8), Yustinus mengatakan bahwa tekanan gas pipa sudah mulai kembali normal. Yustinus mendesak agar realisasi pasokan gas, khususnya untuk volume HGBT bisa terealisasi 100% sesuai dengan Kepmen ESDM Nomor 76.K/2025.
Merespons persoalan ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga telah membentuk “Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT”. Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief mengungkapkan pembentukan crisis center ini menyusul banyaknya laporan dari pelaku industri.
"Pusat Krisis ini dibentuk untuk menampung keluhan, memverifikasi kondisi di lapangan, menjadi jalur komunikasi dan konsultasi cepat antara industri dengan pemerintah, serta instrumen resmi pemerintah untuk mengawal keberlanjutan industri pengguna gas,” ujar Febri melalui keterangan tertulis, Senin (18/8).
Beberapa sektor industri pengguna HGBT sudah menyampaikan laporan kepada direktorat terkait di Kemenperin sebagai pembina sektornya. Kondisi yang dilaporkan antara lain pembatasan pasokan gas serta tekanan gas yang tidak stabil.
Situasi ini memaksa sejumlah perusahaan untuk melakukan rekayasa operasional agar produksi tetap berjalan.
Baca Juga: Industri Dapat Kado Buruk di HUT ke-80 RI Akibat Pembatasan Pasokan Gas Bumi Tertentu
Kasus-kasus tersebut banyak ditemukan pada sektor industri keramik, gelas kaca, baja, dan oleokimia yang sangat bergantung pada pasokan gas dengan harga kompetitif. "Di lapangan, ada yang harus mematikan salah satu unit lini produksinya.
Ada pula yang mengganti bahan bakar dari gas menjadi solar. Langkah itu memang bisa menjaga produksi tetap berjalan, tetapi konsekuensinya biaya produksi meningkat cukup signifikan," terang Febri.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyoroti kelangkaan pasokan gas di wilayah Jawa bagian barat menunjukkan adanya permasalahan tata kelola gas nasional.
Menurut Komaidi, kondisi ini terjadi karena belum ada pihak yang secara khusus diamanatkan oleh undang-undang untuk bertanggung jawab terhadap pengadaan dan pemenugan gas untuk domestik.
Guna memperbaiki tata kelola gas nasional, Komaidi menilai diperlukan agregator dan integrator gas. "Tugasnya bertanggung jawab terhadap pengadaan dan pemenuhan gas untuk domestik. Agregator memiliki posisi penting untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen," ungkap Komaidi dalam rilis yang disiarkan Selasa (19/8).
Komaidi mencontohkan Malaysia dan Thailand yang memiliki agregator dan integrator gas nasional. Dalam hal ini, Komaidi menilai pihak yang potensial diberikan tugas sebagai agregator dan integrator gas adalah PGN selaku sub-holding gas Pertamina. Mengingat lebih dari 90% pangsa pasar dan infrastruktur gas nasional dikuasai oleh Pertamina Group.
Selanjutnya: Sebulan Harga Emas Antam Harga Minus 1,56%, Hari Ini Naik (19 Agustus 2025)
Menarik Dibaca: Hujan Lebat Turun Merata, Ini Peringatan Dini Cuaca Besok (20/8) di Jabodetabek
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News