Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyak permintaan konektivitas oleh industri yang beroperasi di wilayah terdepan, terpencil dan tertinggal (3T). Namun permintaan itu tidak dapat dipenuhi dengan konektivitas berbasis serat optik. Maka, konektivitas satelit milik Elon Musk, melalui Starlink menjadi salah satu solusi.
Terkait hal itu, Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI), mengeluarkan policy paper berjudul Kedaulatan Siber Indonesia pada Senin (18/9). Muhamad Syauqillah, Ketua Prodi Kajian Terorisme Sekolah Kajian SKSG UI menjelaskan, untuk merespons permasalahan maupun dinamika tantangan domestik dan lingkungan strategis, Indonesia memerlukan strategi khusus dalam ketahanan dan keamanan siber.
SKSG UI mempunyai beberapa catatan mengenai teknologi satelit low earth orbit (LEO) milik Elon Musk. Pada 28 Februari 2022, pendiri Tesla ini menawarkan internet gratis melalui Starlink kepada Pemerintah Ukraina. Setelah Pemerintah Ukraina tergantung, pada 30 September 2022, Musk mulai menghentikan layanan Starlink. Hal ini tentu mengancam nyawa tentara Ukraina, karena Starlink adalah media yang mereka gunakan di medan perang.
Pada 14 Oktober 2022 SpaceX meminta Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) serta Uni Eropa membayar US$ 120 juta untuk penyediaan internet di Ukraina selama tahun 2022, dan US$ 400 juta untuk satu tahun ke depan. Pada 30 Mei 2023 Pentagon memutuskan membayar tagihan tersebut.
"Masih banyak catatan lain Starlink. Sehingga akan mempermudah Starlink mendapatkan berbagai informasi sensitif dari negara tempatnya beroperasi. Pemerintah RRC juga mengingatkan Starlink saat ini dijadikan alat militer AS,” kata Syauqillah.
Baca Juga: Smartfren (FREN) Gandeng Grup Telkom untuk Layanan Starlink di Wilayah 3T
Dalam sesi penanggap, Mohammad Ridwan Effendi menjelaskan, karakteristik teknis Starlink yang berisiko mengancam kedaulatan dan integritas Indonesia. Secara khusus, Pengajar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menyoroti Inter Satellite Link (ISL) yang memanfaatkan sinar laser yang berperan sebagai backbone di luar angkasa.
ISL ini memungkinkan Starlink dapat menghindari gateway internet Indonesia, sehingga negara tak memiliki kedaulatan untuk menjalankan kebijakan internet seperti trust positive dan kewajibannya lawful intercept, sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Arry Abdi Salman, Ketua Bidang Keamanan Siber Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menekankan pentingnya kontrol gateway internet dan memastikan kerja sama dengan penyelenggara internet global seperti SpaceX tidak mengorbankan kepentingan nasional.
Melalui kerja sama, beberapa ISP anggota APJI yang merupakan UMKM, telah memanfatkan kapasitas satelit Starlink melalui skema kerja sama untuk menyediakan layanan internet kepapda masyarakat.
Syauqillah sepakat, perkembangan teknologi adalah keniscayaan. Namun, adopsi perkembangan teknologi tersebut harus sesuai kebutuhan dan tetap memperhati kedaulatan bangsa. “Untuk itu, negara harus berdaulat dan memiliki kendali atas infrastruktur fisik siber. Seperti melalui pengendalian kehadiran pelaku usaha asing penyedia infrastruktur fisik siber, melalui kerangka kerja sama dengan pelaku usaha dalam negeri sebagai entitas terpisah," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News