Reporter: Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Pro kontra pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan terus berlanjut. RUU yang merupakan inisiatif DPR ini mendapat respon dari pemerintah melalui Kementerian Sekretaris Negara.
Dalam surat bernomor B.573/2017 itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno meminta Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman menghentikan pembahasan RUU tersebut.
Kendati demikian, DPR menegaskan tidak terpengaruh dengan surat tersebut. “Kami tetap akan jalan terus. Tak boleh pemerintah melakukan intervensi,” ujar Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Perkelapasawitan DPR RI Firman Soebagyo di Jakarta, Minggu (9/7).
Firman menilai, alasan pemerintah meminta penyetopan pembahasan RUU lebih dikarenakan adanya permintaan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang selama ini kerap menyerang sawit Indonesia.
Firman mengungkapkan, dirinya Jumat (7/7) lalu ditelpon Deputi Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Kementerian Sekretariat Negara (Kemsesneg) Muhammad Saptamurti.
Dalam komunikasi tersebut, Saptamurti mengatakan bahwa dalam surat tersebut Mensesneg tidak bermaksud untuk menghentikan tahapan penyusunan RUU Perkelapasawitan. Tapi hanya menyampaikan pendapat yang disampaikan LSM kepada Menteri Pertanian.
“Jadi itu klarifikasi pihak Kemsesneg kepada saya. Tapi ini juga tidak benar, karena dalam surat itu (pembahasan RUU) minta dihentikan. Di mana isi surat sama seperti yang disampaikan LSM. Apalagi surat tersebut surat resmi di atas kop Kementerian Sekretariat Negara RI,” kata Firman.
Menurut Firman, RUU ini sudah dibahas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). RUU Perkelapasawitan yang sudah masuk dalam daftar Prolegnas ini telah disetujui oleh presiden atau pemerintah yang dalam hal ini diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).
Oleh karena itu, kata Firman, pemerintah tidak boleh melakukan intervensi RUU Perkelapasawitan yang merupakan hak inisiatif dewan ini.
“Karena itu mandat konstitusi. Apalagi yang menjadikan kami sedikit marah, RUU ini masih diharmonisasi di Badan Legislasi (Baleg), belum disyahkan sebagai RUU inisiatif, tapi Mensesneg itu meminta Mentan memberhentikan pembahasan. Nah di situlah Menseneg tak paham soal konstistusi dan tata cara penyusunan UU,” katanya.
Ironisnya, lanjut Firman, argumentasi yang disampaikan Mensesneg itu karena permintaan LSM. Apalagi substansi yang disampaikan LSM itu tidak benar adanya.
“Ini bahaya kalau pejabat negara bisa diintervensi LSM. Kalau nantinya pemerintah tidak sepakat, harusnya nanti di pembahasan tingkat satu. Di situ nanti DPR akan berdebat dengan pemerintah. Karena setiap UU itu harus ada naskah akademik dan draf RUU. Naskah dan draf RUU itu hasil kajian dan serapan aspirasi masyarakat,” katanya.
Firman juga tidak setuju dengan tuduhan RUU ini overlaping dengan UU Perkebunan. Karena UU Perkebunan itu mengatur 127 komoditi. Sementara itu, UU ini mengatur khusus tentang kelapa sawit.
“Oleh karena itu untuk menyelesaikan perkelapasawitan perlu sebuah UU yang sifatnya lex specialis. Karena sawit itu sudah memberikan kontribusi terhadap negara berupa devisa yang jumlahnya Rp 300 triliun per tahun atau sudah di atas penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi,” katanya.
Selain itu, kehadiran perkebunan kelapa sawit juga telah menjembati kesenjangan ekonomi masyarakat di luar Pulau Jawa. Terdapat 1,7 juta hektare (ha) lahan milik petani di Riau juga belum jelas statusnya.
Diharapkan dengan adanya RUU ini persoalan tersebut dapat diselesaikan. Sementara industri sawit dalam negeri bersaing dengan Malaysia yang telah memiliki UU perkelapasawitan yang lebih rigid. Karena itu, RUU ini akan mengatur hulu dan hilir perkelapasawitan nasional.
Firman mentakan, pihaknya telah meminta Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk melanjutkan pembahasan tersebut bersama DPR. Namun sayang Amran enggan menanggapi polemik ini. "Sudah lah, itu tidak perlu dibahas lagi," elaknya.
Seperti diketahui, dalam surat tersebut, ada tujuh poin alasan Mensesneg Praktikno meminta menghentikan pembahasan RUU perkelapasawitan tersebut. Salah satunya RUU tersebut dipandang tidak melindungi kepentingan nasional dan lebih melindungi kepentingan korporasi penguasa industri yang sebagian besar merupakan perusahaan asing.
Salah satu pasal yang dianggap pro asing, yakni pasal 30 ayat 1 dimana pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal di perkelapasawitan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News