Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal
KONTAN.CO.ID - Di tengah kondisi pandemi covid-19 yang membuat banyak sektor industri bergejolak, sejumlah komoditas tambang justru mengalami kenaikan harga. Mengutip IDX Channel, harga batubara yang mengalami kenaikan 24,09%, timah naik 45,22%, nikel naik 5,86%, dan kenaikan harga tembaga 31,86%. Meskipun fluktuatif, kenaikan harga emas juga diperkirakan lanjut sepanjang 2021 dan bisa mencapai lebih dari Rp1 juta per gram atau mendekati US$ 2.000 per ons troi. Kenaikan beragam komoditas tambang ini turut mendongkrak kinerja sejumlah perusahaan pertambangan.
Pada semester pertama 2021, holding BUMN Pertambangan, Mining Industry Indonesia (MIND ID) mencatatkan laba bersih sebesar Rp4,7 triliun. Nilai ini meningkat tajam dibandingkan periode yang sama tahun 2020, yang sempat mengalami rugi bersih Rp1,8 triliun. Net profit margin juga mengalami peningkatan menjadi 12% dibandingkan semester pertama 2020 pada minus 6%. MIND ID mencatat pendapatan sebesar Rp39,2 triliun atau meningkat 34% dibandingkan periode yang sama pada 2020, yang senilai Rp29,3 triliun. Di samping itu, nilai Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) sebesar Rp10,9 triliun. Angka ini meningkat 198% dibandingkan Juni 2020 sebesar Rp3,6 triliun.
“Sebagai strategic holding, kami menerapkan strategi keuangan untuk menjaga tingkat likuiditas khususnya untuk memenuhi kewajiban finansial Perusahaan, serta memonitor dan menjaga tingkat produksi dan penjualan.” CEO Grup MIND ID Orias Petrus Moedak.
MIND ID berharap kinerja Perusahaan dan kondisi perekonomian terus stabil, sehingga peningkatan pencapaian laba bersih terus berlanjut di paruh kedua 2021.
Untuk mencapainya, MIND ID mendorong anggota holding tambangnya untuk realisasi komoditas hilir hingga mencapai 60-70% dari total produksi serta menerapkan berbagai langkah lainnya.
Kinerja MIND ID tidak lepas dari performa anggota holding tambangnya, yaitu PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Inalum (Persero), PT Freeport Indonesia (PTFI), dan PT Timah Tbk (TINS). Mulai dari ANTM. kinerja produksi feronikel, bijih nikel, emas, perak, alumina, batubara, dan bauksit serta jasa pengolahan dan pemurnian emas cukup impresif. Dibandingkan kuartal I tahun 2020, laba usaha ANTM meningkat cukup signifikan pada kuartal I 2021, yaitu dari Rp137 miliar menjadi Rp794 miliar.
Strategi ANTM pada 2021 antara lain komoditas emas yang fokus ditujukan pada pasar domestik karena permintaan masyarakat yang tinggi, seiring pertumbuhan kesadaran investasi. Bersama PT Abuki Jaya Stainless Indonesia dan PT Hartadinata Abadi Tbk, ANTM mengeluarkan perhiasan emas berkadar 99,9% (Kencana/Keindahan Tepercaya dan Bermakna) dan emas mini 0,1 dan 0,25 gram (Emas Kecil Investasi Aman dan Tepercaya/Emas KITA) yang terjangkau. ANTM juga mengelola 15 Butik Logam Mulia di 11 kota di Indonesia.
Pangsa pasar feronikel ANTM ditujukan untuk mancanegara, antara lain Korea Selatan, China, dan sejumlah negara di Asia Tenggara. Sementara itu, bijih nikel difokuskan untuk pasar domestik sejak 2021 seturut potensi perkembangan industri pengolahan bijih nikel. ANTM juga aktif memaksimalkan potensi tambangnya, sekaligus mencari sumber potensi baru.
Lain ANTM, lain PTBA. Subsektor industri di bawahnya cukup luas, tetapi mayoritas adalah tambang batubara, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor ke sejumlah negara di Asia. Untuk semester I tahun 2021, PTBA mampu membukukan pendapatan Rp10,3 triliun, meningkat dari semester I tahun 2020 yang sebesar Rp9 triliun. Volume penjualan juga mengalami peningkatan dari 12,6 juta ton pada semester I tahun 2020 menjadi 12,9 juta ton pada semester I tahun 2021.
Potensi komoditas batubara terletak pada peningkatan harga. Indeks batubara Newcastle 2021 yang diprediksi mencapai sekitar US$145-175 per ton, nilai batubara tertinggi dalam dekade ini. Untuk itu, PTBA menerapkan sejumlah strategi digitalisasi dalam aspek transportasi dan berfokus pada peningkatan kapasitas angkutan batubara di wilayah operasi Lampung dan Sumatera Selatan. PTBA juga mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan, terutama pengembangan sumber tenaga surya. PTBA juga berfokus pada program Coal to Chemical Industry yang salah satunya berlokasi di Muara Enim, Sumatera Selatan.
Sedangkan TINS merupakan salah satu eksportir timah terbesar di dunia, dengan sektor produksi meliputi pertambangan timah, hilirisasi timah, pertambangan batu bara dan nikel, serta bisnis lain seperti properti, galangan kapal, dan agrobisnis. Karena mengalami gangguan operasional, produksi timah sempat mengalami penurunan yang signifikan.
Meskipun demikian, efisiensi dan peningkatan nilai timah di pasaran akibat penyusutan suplai membuat TINS sanggup membukukan laba. Laba operasional TINS pada triwulan II tahun 2021 mencapai Rp630 miliar, meningkat pesat dibandingkan tahun 2020 yang minus Rp227 miliar. Sementara itu, laba tahun berjalan mencapai Rp270 miliar pada triwulan II, jauh meningkat dibandingkan tahun 2021 yang minus Rp390 miliar. Bagaimana prospek timah? Untuk sepanjang 2021 ini, permintaan timah akan terus meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh bertambahnya permintaan komoditas timah untuk industri otomotif dan produksi peralatan elektronik, baik dari dalam maupun luar negeri.
Anggota MIND ID yang beroperasi di wilayah paling timur Indonesia, PTFI, menargetkan produksi bijih emas 1,4 juta ons dan bijih tembaga 1,4 miliar pon di 2021. Selain peningkatan produksi, komitmen hilirisasi sebagai bentuk ketaatan terhadap peraturan diwujudkan melalui kerja sama dengan PT Chiyoda International Indonesia untuk aktivitas engineering, procurement, dan construction (EPC) proyek smelter tembaga di Manyar, Gresik. PTFI juga tengah berfokus pada pengembangan lima cadangan tambang bawah tanah untuk meningkatkan produksi emas dan tembaga. Di antaranya adalah Grassberg Block Cave (GBC) serta Deep Mill Level Zone (DMLZ) yang sudah dikembangkan sejak 2016.
Sementara itu, Inalum Operating rencananya akan berfokus pada peningkatan kapasitas produksi aluminium. Untuk industri aluminium, belanja modal (capital expenditure/capex) dianggarkan sekitar US$318 juta untuk tahun 2021. Inalum juga tengah berusaha menggenjot hilirisasi (downstream product), di antaranya melalui joint venture dengan PT Pertamina (Persero) untuk membangun perusahaan patungan pabrik pengolahan bahan baku utama aluminium, yaitu calcined petroleum coke (CPC) atau kokas, dengan perkiraan lokasi di Dumai atau Kuala Tanjung. Terobosan lainnya, bersama ANTM, Inalum juga membangun smelter grade alumina refinery (SGAR) di Kalimantan Barat.
Lantas, seberapa besar kontribusi pendapatan negara dari sektor komoditas pertambangan?
Menilik dari sejumlah informasi yang berhasil dikumpulkan Kontan, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) Migas yang berasal dari minyak bumi dan gas alam untuk semester I tahun 2021 adalah sebesar Rp39,9 triliun atau 53,2% target APBN.
Sementara itu, PNBP SDA Nonmigas mencakup sumber pendapatan dari sektor pertambangan batubara dan mineral, serta komoditas lain seperti perikanan dan kehutanan. Untuk realisasi PNBP SDA Nonmigas adalah 68,1% APBN atau sebesar Rp19,8 triliun untuk semester I tahun 2021.
Terkait dengan PNBP, Orias menargetkan kontribusi MIND ID akan meningkat pada periode 2021 ini. Pada 2019, PNBP MIND ID mencapai Rp6,5 triliun. Namun, sempat turun menjadi Rp5,80 triliun pada 2020 karena pengaruh dari pandemi covid-19 terhadap bisnis MIND ID dan juga dari transisi tambang bawah tanah di PTFI. Mengingat sejumlah strategi efisiensi, perluasan eksplorasi, digitalisasi pertambangan, dan fokus pada hilirisasi komoditas dari holding tambang telah diterapkan dan menghasilkan kenaikan laba yang signifikan, Orias optimis kontribusi MIND ID untuk negara bertumbuh pada 2021 ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News