Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Lanjut Ginanjar, kesadaran orang akan hidup sehat saat pandemi Covid-19 membuat permintaan sayuran dari kebun hidroponik meningkat. Berbeda dengan sayuran yang dijual di pasar, hidroponik menghasilkan sayuran yang relatif lebih segar dan bebas pestisida.
"Selain dari perorangan, pembeli banyak juga dari restoran-restoran dan beberapa hotel. Kalau ke swalayan belum masuk, karena harus kontinu. Saya sendiri berencana memperluas kebun," ucap Ginanjar yang saat mengelola kebun seluas 20x15 meter yang dibantu dua orang tenaga kerja.
Baca Juga: Mari mulai berkebun di areal rumah selama pandemi
Ginanjar yang biasa memanen sayur sepekan sekali ini bisa menjual hingga 400 kilogram berbagai jenis sayuran dalam sebulan. Beberapa sayuran yang dihasilkan di kebunnya antara lain kale, selada, dan berbagai jenis sawi seperti pakchoy, caisim, dan sawi putih.
"Primadona saat ini kale, harganya per kilogram bisa sampai Rp 120.000. Lalu selada Rp 40.000, sawi saya jual Rp 35.000. Meski lebih mahal dari sayuran di pasar, sayur hidroponik semakin banyak dicari," tuturnya.
Baca Juga: Alumni Politeknik Pembanguan Pertanian Bogor dukung program pertanian Kementan.
Sementara itu, dilansir dari Antara, Ketua Program Studi S2 lahan Kering sekaligus Ketua Program Studi S2 Agroekoteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Dr. Gede Wijana mengatakan mengaplikasikan sistem hidroponik di rumah bisa membantu sebagai obat stres selama masa pandemi Covid-19.
"Hidroponik ini mampu menghasilkan kuantitas dan kualitas sayuran yang bagus dengan pemeliharaan yang baik. Jadi yang dipersiapkan adalah instalasinya," kata Gede Wijana. "Bibit, nutrisi AB mix atau racikan sendiri, pompa pengangkat larutan nutrisi dan tentu perlu listrik. Dalam pembuatan bibit perlu benih dan media penanam benih antara lain rockwool," kata dia lagi.