Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Tanito Harum menjadi pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama yang pertama mendapatkan perpanjangan izin operasi.
Perpanjangan izin operasi Tanito Harum tersebut masih menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) yang lama, hal itu lantaran revisi keenam PP Nomor 23 Tahun 2010 belum juga rampung.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, perpanjangan izin PT Tanito Harum itu berdasarkan pada PP Nomor 77 Tahun 2014 tentang perubahan ketiga atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Dengan begitu, perusahaan batubara yang izin PKP2B-nya habis pada 14 Januari 2019 ini mendapatkan perpanjangan izin dan bisa beralih status menjadi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). "Sudah (diperpanjang), PP 77 kan jelas," katanya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Senin (10/6).
Bambang pun menepis isu bahwa PT Tanito Harum tidak mendapatkan izin ekspor. Ia mengklaim, Tanito masih bisa berproduksi dan melakukan ekspor seperti biasanya. "Nggak ada (penghambatan izin ekspor), biasa aja (melakukan produksi dan ekspor)," ujarnya.
Mengenai luas wilayah, Bambang bilang jika Tanito dan PKP2B lainnya bisa mendapatkan lahan tambang tanpa pembatasan 15.000 hektare (ha).
Sebab, IUPK yang berasal dari kelanjutan PKP2B berbeda dengan IUPK diperoleh dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang harus menjalani penciutan lahan tambang terlebih dulu.
"IUPK dari WPN mestinya kan penciutan dulu, kemudian lelang. Kalau ini beda, tidak lelang, hal yang berbeda," katanya.
Adapun, mengenai progres revisi keenam PP Nomor 23 tahun 2010, Bambang masih enggan untuk memberikan keterangan secara detail. "Saya tidak tahu (progres terkini), itu di Biro Hukum," ujarnya.
Hingga kini, sambung Bambang, belum ada lagi PKP2B yang mengajukan perpanjangan izin dan perubahan status menjadi IUPK. "Belum ada lagi," kata Bambang.
Terdekat, ada PT Arutmin Indonesia yang akan mengakhiri kontrak pada 1 November 2020. Sebelumnya, kepada Kontan.co.id, Chief Executive Officer PT Arutmin Indonesia Ido Hutabarat mengatakan bahwa pihaknya tengah menyusun permohonan perpanjangan perizinan, dan akan segera mengajukannya ke Kementerian ESDM pada Semester I ini. "Sedang kami proses, akan kami ajukan tahun ini, rencananya bisa semester I ini," katanya beberapa waktu lalu.
Minta Revisi PP Segera Diterbitkan
Sebelumnya, Kontan.co.id telah memberitakan bahwa pelaku usaha batubara meminta supaya paket PP tentang komoditas emas hitam ini bisa segera diterbitakan. Seperti diketahui, paket kebijakan itu berisi revisi keenam PP Nomor 23 tahun 2010 dan PP tentang perpajakan dan penerimaan negara dari bidang usaha batubara.
Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P. Sjahrir mengatakan, paket regulasi tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat investasi di bidang usaha emas hitam ini. "Ini krusial sekali. Urusan Pemilu sudah selesai, bolak balik lagi ke pemerintah, semuanya ingin kepastian," kata Pandu belum lama ini.
Pandu juga menekankan, di tengah tekanan harga dan pasar batubara global, ketidakpastian hukum ini bisa berdampak negatif terhadap investasi di sektor batubara. "Yang terjadi sekarang investasi stuck, lagi pusing gara-gara ini diambangin," imbuhnya.
Ia pun mengatakan, regulasi tentang kejelasan status perizinan ini diperlukan mengingat sudah ada satu pemegang PKP2B yang masa kontraknya sudah berakhir, dan PKP2B lainnya akan segera mengakhir kontrak.
Selain PT Tanito Harum dan PT Arutmin Indonesia, masih ada enam PKP2B lainnya yang dalam beberapa tahun ke depan akan mengakhiri kontrak.
Yakni, PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025). "Nah itu bagaimana? ini nggak bagus, jadi memang harus diperjelas," tegasnya.
Menurut Pandu, saat ini semuanya berpulang pada political will pemerintah. Hanya saja, Pandu meminta kepada Kementerian ESDM sebagai leading sector, bisa menunjukkan sikap yang jelas terhadap revisi PP 23/2010 tersebut.
"Ini lebih ke political will saja, mana yang terbaik buat negara. Tapi dari sisi (Kementerian) ESDM harus tegas, rekomendasi dan posisinya," tandas Pandu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News