Reporter: Adisti Dini Indreswari | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Pasar properti Indonesia tumbuh cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Namun, Indonesia Property Watch (IPW) meramalkan ada kemungkinan terjadi pelambatan pasar properti nasional mulai tahun ini.
IPW mencatat, siklus properti Indonesia mulai masuk percepatan, setelah lolos dari krisis ekonomi global pada tahun 2009. Indikatornya, tahun ini merupakan titik tertinggi pasar properti. "Pelambatan pasar properti sudah dirasakan sejak awal tahun ini, dengan mulai kenaikan harga yang lambat dan proyek properti baru berkurang dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya," ungkap Direktur Eksekutif IPW, Ali Tranghada, akhir pekan lalu.
Faktor lain yang menyebabkan pasar properti menyusut, menurut Ali, adalah harga properti yang sudah terlalu tinggi di pasar primer, tapi tidak diimbangi oleh pasar sekunder. Kondisi tersebut menyebabkan pasar akan bergerak ke keseimbangan baru pada tahun ini.
Namun demikian, IPW memperkirakan pelambatan pertumbuhan hanya terjadi pada segmen menengah ke atas. "Para pelaku pasar, khususnya pengembang dan investor, mulai merasakan kejenuhan. Mereka mulai bergeser ke segmen menengah dengan tangkapan end user lebih banyak," ujar Ali.
Kendati begitu, peningkatan pasar properti untuk kelas menengah ini bisa memicu masalah baru, yaitu kenaikan harga lahan yang sedianya disiapkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Itulah sebabnya, Ali menilai, pembuatan mekanisme bank tanah (land bank) maupun instrumen subsidi lain, termasuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sangat mendesak.
Sedangkan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Setyo Maharso masih optimistis pasar properti Indonesia bisa tumbuh tahun ini. Dia memprediksi, pertumbuhan tahun ini mencapai 20%, lebih tinggi ketimbang tahun lalu yang hanya 16%-17%.
Dilihat dari kacamata pengembang, pasar properti masih berada dalam tren naik. "Pendorongnya adalah regulasi tahun ini relatif lebih siap daripada tahun lalu," ujar Setyo ketika dihubungi KONTAN, Selasa (26/3) pekan lalu.
Misalnya, aturan yang menaikkan harga rumah yang bisa memperoleh Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), atau penghapusan peraturan mengenai rumah tipe 36. "Selain itu, suku bunga Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) juga masih rendah," ungkap Setyo.
Namun, Setyo setuju permintaan paling tinggi tahun ini terjadi untuk properti kelas menengah, yaitu properti dengan harga antara Rp 300 juta hingga Rp 600 juta. Sayangnya, saat ini pasokan rumah yang berada dalam kisaran harga tersebut sulit ditemui di pusat kota Jakarta.
Setyo memperkirakan, pertumbuhan properti Indonesia baru akan melambat pada tahun depan. Maklum, pada tahun tersebut, Indonesia akan menggelar pesta demokrasi yaitu pemilihan umum yang bisa membuat kondisi sosial politik tidak stabil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News