Reporter: Dimas Andi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengusaha makanan dan minuman nasional masih mewaspadai ancaman lonjakan harga gula rafinasi di Indonesia. Asal tahu saja, gula rafinasi biasa digunakan untuk keperluan produksi di beberapa industri, termasuk makanan & minuman.
Dalam berita sebelumnya, bulan Juni 2023 Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) menyebut harga bahan baku gula tahun ini telah melonjak ke level US$ 0,25-US$ 0,29 per pound. Hal ini berdampak pada harga gula rafinasi di pasar yang telah menembus lebih dari Rp 10.000 per kilogram (kg).
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan, bulan Juli 2023 laju kenaikan harga gula rafinasi tampak sedikit melambat, sehingga cukup melegakan bagi para pebisnis industri makanan & minuman.
Walau begitu, tantangan bagi industri makanan & minuman jelas masih ada. Ancaman muncul dari fenomena El-Nino yang melanda beberapa negara produsen gula seperti India dan Thailand pada pertengahan tahun ini. El-Nino diperkirakan membawa dampak yang cukup destruktif bagi kelangsungan produksi gula.
Baca Juga: Jaga Konsumsi Masyarakat Menjadi Kunci Pendorong Pertumbuhan Ekonomi
"Aktivitas penanaman tebu akan terganggu oleh El-Nino, apalagi masa tanam tebu mencapai 10 bulan. Kemungkinan dampak El-Nino terasa pada awal tahun depan," ungkap Adhi ketika ditemui Kontan.co.id di Gedung Kementerian Perindustrian, Selasa (18/7).
Gapmmi telah melakukan pemantauan ke sejumlah produsen makanan & minuman. Tampak bahwa produsen-produsen besar lebih tahan banting terhadap efek kenaikan harga gula rafinasi. Sebab, mereka sudah teken kontrak jangka panjang dengan para pemasok gula rafinasi. Alhasil, pemasok sudah mengamankan stok gula rafinasi dengan harga lama sebelum terjadi kenaikan.
Di sisi lain, Gapmmi menilai produsen makanan & minuman level Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) lebih rentan terdampak oleh kenaikan harga gula rafinasi. Sebab, pebisnis makanan & minuman kecil biasanya mendapat pasokan gula rafinasi dengan kontrak jangka pendek, bisa harian atau mingguan.
Baca Juga: Konsumsi Masyarakat Menengah Atas Jadi Penopang Sektor Manufaktur
"Akibatnya mereka mulai melakukan penyesuaian harga atau mengurangi ukuran produk," ujar Adhi.
Sebaliknya, produsen makanan & minuman kelas kakap masih menahan diri untuk penyesuaian harga produk. Dengan pangsa pasar besar, para produsen tersebut tidak bisa sembarangan mengubah harga jual. Ada proses negosiasi dengan para distributor dan ritel yang harus dilalui dan ini juga perlu mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat nasional.
"Kalaupun ada penyesuaian harga, produsen makanan & minuman besar biasanya baru akan melakukannya pada akhir atau awal pergantian tahun," tandas Adhi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News