Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Rumah Kebangsaan dan Medco Foundation, bekerja sama dengan KOMPAS dan Forum Energi Muda (FEM) menyelenggarakan kegiatan Arifin Panigoro (AP) Dialog ke-8 dengan tema “Refleksi 2023 dan Outlook 2024: Indonesia Menuju Energi Bersih dan Ekonomi Hijau yang Inklusif ”, di Jakarta, Selasa (20/12).
Dialog seri ke-8 ini dilakukan dengan mengkhususkan pada tema percepatan transisi energi serta upaya mencapai Net Zero Emission (NZE) yang juga menjadi agenda prioritas menuju Indonesia Emas 2045.
Diskusi ini membahas pencapaian signifikan sepanjang tahun 2023 dan menggali prospek 2024 yang menantang namun penuh potensi.
Dalam konteks ini, Indonesia tidak hanya melihat pada kemajuan teknologi energi bersih, tetapi juga pada implementasi kebijakan ekonomi hijau yang merangkul inklusivitas, memastikan bahwa setiap lapisan masyarakat turut merasakan manfaat.
Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna menjelaskan, saat ini 80% kebutuhan energi Indonesia masih bergantung pada energi fosil. Maka itu dibutuhkan banyak upaya untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
“Salah satu kunci untuk mendukung target Net Zero Emission (NZE) di 2060 adalah pendanaan dengan investasi yang cukup besar,” ujarnya.
Baca Juga: Poin Perubahan Sudah Disetujui, Revisi Permen PLTS Atap Rampung Awal 2024
Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi emisi di sektor kelistikan ialah menurunkan kapasitas PLTU Batubara (coal phase down) secara bertahap. Melalui cara ini, diharapkan pembangkit berbasis batubara berkurang dan mendorong masuknya EBT di kemudian hari.
Indonesia memiliki potensi 3.600 Gigawatt (GW) yang didominasi dari energi surya sebesar 3.300 GW. Khusus untuk pembangkit surya, pemerintah mendukung pengembangan PLTS ground mounted, PLTS Atap, hingga PLTS Terapung.
Kemudian, pihaknya juga mendorong elektrifikasi di sektor transportasi di mana ada perpindahan bahan bakar yang selama ini menggunakan BBM menjadi listrik. Lalu di sektor rumah tangga, Kementerian ESDM juga mendorong konsep clean cooking dengan menggunakan alat memasak listrik (AML) seperti kompor elektrik.
Penasehat Khusus Menko Marves dan Kepala Sekretariat JETP, Edo Mahendra menyatakan dalam menjalankan transisi energi dibutuhkan instrumen carbon pricing sebagai dukungan sistem penerapan EBT.
“Carbon pricing merupakan suatu ekosistem yang dalam implementasinya memang tidak menjadi pendukung utama. Namun karena memiliki nilai ekonomi karbon (carbon pricing), maka dapat mempercepat visi Indonesia Net Zero Emission (NZE) 2060,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Edo bilang, saat ini Indonesia masih difokuskan bagaimana penerapan EBT dapat diimplementasikan dengan cukup efisien, seperti adanya gerakan mitigasi dan market instrument.
Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soperano menambahkan pihaknya sudah menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) di mana akan segera terbit setelah Februari 2024.
“Namun saat ini masih ada satu poin yang akan dibahas kembali terkait power wheeling karena skema ini sangat penting dalam mengakselarasi pembangkit EBT di dalam negeri,” ujarnya.
Namun sayang, penerapan power wheeling masih belum menemukan titik temu sehingga menjadi satu tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam melaksanakan transisi energi.
Direktur Utama & Chief Executive Officer - PT Medco Power Indonesia, Eka Satria turut memberikan masukan dari sisi pengembang. Dia mengungkapkan, pelaksanaan EBT masih terkendala harga listrik.
“Nilai energi fosil yang diberikan secara subsidi tentu lebih menguntungkan dibandingkan dengan energi baru terbarukan dengan instrumen yang ada,” tuturnya.
Eka juga menyampaikan pentingnya pelaksanaan skema power wheeling untuk mendukung evakuasi energi hijau, khususnya dari varibale renewable energy (VRE).
“Tidak kalah penting lagi ialah regulasi, harapan kami undang undang EBET benar-benar dapat mendorong hal tersebut,” tandasnya.
Baca Juga: JETP Belum Tentu Efektif Mengakselarasi Proyek EBT di Indonesia, Ini Alasannya
Deputi Kepala Sekretariat JETP, Paul Butarbutar menyampaikan regulasi yang baik terkait carbon pricing perlu dipersiapkan untuk memberikan langkah konkrit dalam penerapan EBT.
“Sejauh ini banyaknya kepentingan lintas sektor dari berbagai kementerian sesuai dengan role-nya namun penerapan dan kembali lagi implementasinya belum berjalan dengan lancar,” ujarnya.
Sementara, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengemukakan selama setahun hingga dua tahun terakhir penerapan transisi energi belum maksimal, hal ini pengaruh dari kurangnya konsolidasi.
“Progress dari energi baru terbarukan tidak banyak. Misalnya saja Revisi Permen ESDM PLTS Atap tidak kunjung selesai,” kata Fabby.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News