Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan biomassa di Tanah Air belum optimal. Salah satu penyebabnya adalah harga biomassa yang tak bersaing sehingga membuat produsen biomassa lebih memilih mengekspor produknya daripada dipasok ke pasar dalam negeri.
Harga biomassa untuk pasar dalam negeri lebih rendah, bahkan mencapai dua kali lipat dari harga ekspor. Untuk pasar dalam negeri harga biomassa dipatok sebesar berkisar Rp 550.000 per ton–Rp 600.000 per ton, jika dibandingkan dengan harga ekspor yang bisa mencapai Rp 900.000 per ton–Rp 1.000.000 per ton.
Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), Milton Pakpahan mengatakan, saat ini kondisi harga biomassa untuk tujuan ekspor memang lebih mahal jika dibandingkan dengan harga di pasar dalam negeri. Ekspor biomassa Indonesia dilakukan ke negara-negara seperti Jepang dan Uni Eropa.
Lebih lanjut, pengembangan biomassa di Indonesia memiliki potensi besar karena negara ini kaya akan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biomassa.
Baca Juga: Menguji Beragam Aksi Meredam Emisi Material Beton
"Prospek biomassa ke depan akan cerah dan menjanjikan," kata Milton kepada Kontan.co.id, Minggu (1/12).
Menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki potensi energi biomassa sekitar 32 GW, tetapi baru sebagian keil yang dimanfaatkan. Kebutuhan biomassa dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sebab, penggunaan biomassa ini mampu mereduksi emisi di PLTU, dan mengurangi porsi penggunaan energi fosil.
PT PLN (Persero) melalui Sub Holding PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) terus meningkatkan penggunaan biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kebutuhan biomassa bakal meningkat drastis pada tahun depan mencapai 10,2 juta ton, sementara tahun ini kebutuhan hanya 2,2 juta ton.
Emiten produsen biomassa, PT Maharaksa Biru Energi Tbk (OASA) akan memanfaatkan peluang kebutuhan biomassa sebesar 10,2 juta dari PLN. Namun, ada keterbatasan fasilitas penyimpanan di PLTU untuk menerima biomassa dalam jumlah besar.
Baca Juga: Begini Rincian Skema Pensiun Dini PLTU Cirebon 1 dan Persiapan Pemerintah
Direktur Utama OASA, Bobby Gafur Umar mengatakan, secara umum biomassa dibahas sebagai solusi untuk mendukung transisi menuju energi bersih, dengan menggantikan sebagian penggunaan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) melalui co-firing (campuran batu bara dan biomassa).
Bobby menerangkan, target pemanfaatan biomassa domestik untuk campuran 5% di PLTU membutuhkan 10,2 juta ton per tahun. Namun, per 2023, hanya 1 juta ton yang terpenuhi karena kendala seperti harga bahan baku, transportasi, dan kesiapan infrastruktur PLTU.
"Target 5% sebesar 10,2 juta ton per tahun kebutuhan biomassa untuk PLTU itu dicanangkan mulai tahun 2018, persiapannya dari tahun 2018 sampai sekarang per 2023 baru 1 juta ton. Kenapa? ya masalahnya harga," kata Bobby kepada Kontan, Minggu (1/12).
Pada 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM menerbitkan regulasi tentang pemanfaatan bahan bakar biomassa untuk co-firing pembangkit listrik tenaga uap. Salah satu yang diatur dalam regulasi itu ialah adanya harga patokan tertinggi sehingga jenis energi terbarukan itu diharapkan berkembang dan bersaing dengan batubara yang energi fosil.
Baca Juga: Sinyal Positif Prabowo Mempercepat Transisi Energi
Harga patokan tertinggi biomassa dihitung dengan formula harga batubara dikali nilai koefisien harga B3M dikali faktor koreksi nilai kalor. Harga batubara ditentukan berdasarkan rata-rata HBA Koefisien, yakni 1,2.
"Nah ini sebenarnya sudah ada solusi, kita sudah bicara tahun 2023 yang lalu, November tahun lalu itu sudah keluar Peraturan Menteri ESDM untuk ada adjustment sekitar 20%. Jadi memang kalau yang main dekat-dekat kayak perusahaan saya itu masih bisa, tapi dengan 20% ini harganya sudah lebih menarik. Tapi implementasinya itu hampir 1 tahun," ungkap Bobby.
Bobby bilang beberapa waktu yang lalu ada kabar Menteri Keuangan telah menyetujui kenaikan harga biomassa. Namun, Bobby tetap pesimisme tahun depan pemanfaatan biomassa bisa mencapai 10 juta ton.
"Jadi sehingga kalau ditanya memang supply di Indonesia ini targetnya 1 juta, tahun ini mau naik ke 4 juta, barangnya enggak ada. Tahun depan pesimis bisa 10 juta," ujar Bobby.
Asal tahu saja, OASA telah memperluas jangkauan bisnis di Blora, Jawa Tengah dengan membangun pabrik biomassa yang diharapkan akan beroperasi akhir tahun 2024. OASA membidik kapasitas industri biomassa di Blora akan mencapai 60.000 ton per tahun pada tahap pertama.
Baca Juga: Berebut Pasar Ekspor Listrik Hijau ke Singapura
Perbedaan Harga Domestik dan Ekspor
Bobby menjabarkan, harga biomassa untuk pasar dalam negeri lebih rendah sebesar Rp 550.000–600.000 per ton, dibandingkan dengan harga ekspor yang bisa mencapai Rp 900.000–Rp 1.000.000 per ton.
"Perbedaan harga ini terkait dengan kualitas bahan baku, kebutuhan spesifikasi tinggi (misalnya homogenitas kayu), dan biaya sertifikasi untuk ekspor.
Menurut Bobby, ada beberapa tantangan ekspor biomasaa sertifikasi lingkungan dan kepastian sumber bahan baku menjadi kendala utama untuk ekspor.
Adapun, Jepang dan Korea sebagai pasar utama biomassa memiliki persyaratan ketat terkait kualitas, yang sulit dipenuhi jika bahan baku berasal dari sumber pihak ketiga atau campuran.
Untuk itu, OASA akan berfokus pada pasar domestik karena potensi pasar yang besar dan lebih sedikit kendala dibandingkan ekspor. Meski lebih sulit, kata Bobby, pasar ekspor menjanjikan margin keuntungan lebih tinggi, terutama ke negara-negara seperti Jepang, dengan kualitas dan spesifikasi tertentu.
Selanjutnya: Pemerintah Bakal Bentuk Satgas Penanganan PHK
Menarik Dibaca: 4 Mitos Kulit Sensitif yang Tidak Boleh Anda Percaya, Cari Tahu Yuk!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News