kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pembatasan merek & plain packaging ancam perkembangan Industri


Rabu, 24 Juli 2019 / 17:38 WIB
Pembatasan merek & plain packaging ancam perkembangan Industri


Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Isu soal pembatasan merek  (branding) telah banyak direalisasikan oleh pemerintah di beberapa negara dunia.  Beberapa contoh negara yang mulai memberlakukan kebijakan tersebut di tahun ini misalnya Thailand yang mengatur standarisasi kemasan polos untuk produk tembakau.

Selain itu, Singapura yang mewajibkan produk tembakau menggunakan kemasan polos dengan grafis peringatan kesehatan dan Chile yang memberikan label “tanda stop” untuk makanan yang dianggap memiliki risiko kesehatan.

Peraturan tentang pembatasan merek (branding) dan kemasan polos (plain packaging) yang terjadi di negara-negara dunia pada dasarnya sudah mulai terjadi di Indonesia sejak tahun 2014.

Namun, gaung aturan ini belum dirasakan oleh banyak pihak karena kebijakan ini menyasar khusus produk tembakau. Awal tahun ini, semakin banyak negara lain yang mengumumkan untuk mulai memperlebar cakupan kebijakan mereka ke produk konsumsi yang dianggap memiliki risiko kesehatan, termasuk Indonesia.

Berangkat dari isu di atas, Indonesian Packaging Federation (IPF) menggelar Focus Group Discussion (FGD) mengundang panelis dari berbagai latar belakang keahlian dan industri.

Ketika kebijakan pembatasan merek (branding) dan kemasan polos produk ini diterapkan, beberapa aturan yang dikeluarkan bisa muncul dalam beragam bentuk, salah satunya kelak dapat dilihat dalam bentuk perpajakan, peringatan kesehatan bergambar, pembatasan atau larangan label, iklan, serta promosi produk.

Hal ini dinilai sangat mengkhawatirkan bagi para pelaku industri dan konsumen karena dampak yang dihasilkan bisa merugikan kedua belah pihak.

Dari sisi konsumen, minimnya identitas dan informasi akan membatasi kebebasan mereka memilih produk yang mereka inginkan dan peluang masuknya barang-barang palsu atau ilegal akan makin terbuka lebar.

Sementara itu, dari sisi pelaku bisnis aturan ini berpotensi membatasi kreativitas dan inovasi perusahaan dalam rangka menjaga kelangsungan identitas brandatau produknya.

Edy Sutopo, Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, Kementerian Perindustrian   menilai industri kemasan di Indonesia saat ini tengah berada di masa pertumbuhan yang cukup signifikan, yakni sekitar 6% di tahun 2018.

Di era industri 4.0 ini, menurutnya yang perlu dicermati adalah bagaimana kelangsungan bisnis industri kemasan dan turunannya bisa memberikan nilai lebih bagi konsumen serta memberi dampak baik bagi sekitarnya, mulai dari lingkungan, kualitas makanan/minuman, keamanan dan lainnya.

"Era 4.0 adalah era kolaborasi untuk mencari solusi terbaik, bukan malah membatasi. Saya berharap dari diskusi ini kita bisa temukan solusi komprehensif yang tepat sasaran dan mampu direalisasikan dalam jangka panjang,”  ujarnya di Jakarta, Rabu (24/7)

Sementara itu, saat ini pemerintah telah menerapkan peringatan kesehatan bergambar pada industri rokok. Peraturan ini mengharuskan tampilan peringatan terpampang pada 40% area kemasan tembakau.

Namun baru-baru ini, Kementerian Kesehatan mengusulkan untuk memperbesarnya hingga 90%. Di industri lain, pembatasan iklan dan pengemasan juga telah diterapkan pada kental manis dan industri analognya sejak November 2018.

Sementara itu, pangan olahan dan pangan siap saji juga akan mengalami pembatasan serupa dengan mewajibkan pencantuman pesan kesehatan pada label kemasannya dan atau media informasi dan promosi lainnya mulai September 2019.

Sementara itu, pangan olahan dan pangan siap saji juga akan mengalami pembatasan serupa dengan mewajibkan pencantuman pesan kesehatan pada label kemasannya dan atau media informasi dan promosi lainnya mulai September 2019. Kebijakan di atas tentu akan sangat berdampak pada minat beli konsumen yang dipengaruhi oleh kemasan informatif dengan desain menarik.

Bagi pengusaha makanan dan minuman, menyematkan  branding  pada kemasan adalah salah satu aset yang penting karena terkait dengan identitas dan pembeda dengan kompetitor.

Kebijakan pembatasan   branding  dianggap sebagai suatu kemunduran karena artinya pelaku usaha Indonesia makin dibatasi ruang geraknya untuk menghidupkan identitas produk dan di sisi konsumen akan menimbulkan kekhawatiran berlebih dengan adanya gambar peringatan kesehatan.  

Samir Dixit Managing Director Brand Finance Asia Pacific of Brand Finance PLC menyatakan sebuah brand memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh tidak hanya bagi konsumen sebagai end-user tetapi juga untuk pemegang saham dan nilai bisnis.

Setiap tahun sekitar 95% produk baru gagal di pasaran karena kesalahan branding. Konsumen sangat bergantung pada informasi yang ada di kemasan produk. Merek dan kemasan diperlukan agar konsumen terinformasi dengan baik akan kandungan produk, latar belakang produsen, distributor dan masih banyak lagi.

"Pembatasan merek secara perlahan tapi pasti telah merenggut hak para pemilik merek dalam menampilkan identitas produk mereka kepada konsumen,” ujarnya.

Selain memaparkan potensi risiko dan tantangannya, forum ini juga dirancang untuk menampung ide-ide kreatif dan relevan dari pelaku industri yang potensial terdampak. Hal inilah yang mendorong IPF untuk menggelar diskusi di dalam rangkaian acara tahunan Food Hotel Indonesia 2019.

Ariana Susanti Business Development Director Indonesian Packaging Federation melihat implementasi aturan yang kian eksesif, stakeholder juga perlu mengkaji dampak negatif kebijakan ini dalam hal persaingan antar pemilik produk dan konsumen itu sendiri.

"Jadi, kami rasa aturan ini tidak lantas menjamin perlindungan konsumen lewat perubahan kemasan dengan kemasan polos (plain packaging). Masih banyak area yang justru berpotensi merugikan konsumen,” katanya. 

Dalam perspektif pelaku usaha, penerapan pembatasan merek yang dilakukan pemerintah umumnya dilakukan mulai dari pengenaan pajak, dan secara bertahap diikuti dengan pembatasan penampilan kemasan serta kewajiban mencantumkan peringatan kesehatan pada kemasan.

Pada tahap lebih lanjut, seluruh produk yang dituju hanya dapat menampilkan kemasan polos tanpa desain, disertai nama merek dalam ukuran kecil sesuai ketentuan. Hal ini kemudian diikuti dengan pembatasan iklan promosi hingga larangan pemajangan produk pada pusat perbelanjaan ritel. 

Putut Pramono Head of Packaging PT Nestle Indonesia menjelaskan dalam industri makanan dan minuman pembatasan merek (branding) ini bisa memberi dampak yang bermacam-macam.

Sebagai konsumen bila disuguhkan dengan produk yang polos, hanya tertera nama dan peringatan saja, kemungkinan tidak bisa mendapatkan informasi yang cukup tentang produk makanan/minuman tertentu semisal kandungan nutrisinya.

Sebagai produsen juga tidak bisa memberikan informasi yang cukup tentang produk dan manfaatnya, serta tidak adanya faktor pembeda dengan kompetitor di rak toko. Namun sebaliknya hal ini juga bisa menjadi kesempatan untuk pekerja kreatif memberikan solusi dengan adanya pembatasan merek ini

Sebagai produsen juga tidak bisa memberikan informasi yang cukup tentang produk dan manfaatnya, serta tidak adanya faktor pembeda dengan kompetitor di rak toko. Namun sebaliknya hal ini juga bisa menjadi kesempatan untuk pekerja kreatif memberikan solusi dengan adanya pembatasan merek ini.

“Kemasan dan merek bisa dibilang adalah jiwanya para produsen. Kami menuangkan segala bentuk kreativitas demi menyamaikan informasi produk dengan cara menarik tanpa mengurangi esensi penting di dalamnya.

Gambar, warna, bentuk, semua punya andil dan dipikirkan matang-matang oleh banyak pihak. Terlebih di era persaingan serba digital saat ini, kombinasi teknologi dan kreasi semakin memacu kami untuk mengembangkan inovasi terbaik yang bermanfaat bagi konsumen,” tutup Putut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×