CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.386.000   -14.000   -1,00%
  • USD/IDR 16.295
  • IDX 7.288   47,89   0,66%
  • KOMPAS100 1.141   4,85   0,43%
  • LQ45 920   4,23   0,46%
  • ISSI 218   1,27   0,58%
  • IDX30 460   1,81   0,40%
  • IDXHIDIV20 553   3,30   0,60%
  • IDX80 128   0,57   0,44%
  • IDXV30 130   1,52   1,18%
  • IDXQ30 155   0,78   0,50%

Pemerintah dan DPR Diminta Lebih Berhati-hati Bahas Power Wheeling


Sabtu, 18 November 2023 / 14:22 WIB
Pemerintah dan DPR Diminta Lebih Berhati-hati Bahas Power Wheeling
ILUSTRASI. Konsumsi Listrik: Pekerja membetulkan instalasi kabel listrik di Depok, Kamis (27/7/2023). Power wheeling berisiko mengerek tarif listrik di Tanah Air.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng meminta pemerintah dan DPR berhati-hati dalam membahas power wheeling karena berisiko mengerek tarif listrik di Tanah Air.

“Banyak yang berkepentingan dengan isu power wheeling. Misalnya kepentingan asing yang ingin menguasai sektor ketenagalistrikan dengan mendapat pinjaman transmisi yang dimiliki oleh negara. Dengan demikian, tarif listrik bisa berisiko naik,” katanya dalam keterangannya kemarin

Salamudin menjelaskan bahwa pihak swasta tidak mampu membangun jaringan sendiri karena biayanya yang tinggi. Oleh karena itu, mereka berupaya menerapkan power wheeling agar dapat menggunakan jaringan negara tanpa harus berinvestasi langsung untuk menjual listrik dari pembangkit mereka kepada konsumen.

Baca Juga: Izin Tambang Freeport Diperpanjang, Pengamat: Berpotensi Maladministrasi

Dia mengkritik konsep power wheeling karena dianggap dapat mengurangi peran negara dalam menjaga kedaulatan energi, sementara secara undang-undang, isu ketenagalistrikan seharusnya terintegrasi dan dikuasai oleh negara demi kepentingan rakyat.

Lebih lanjut, Salamudin mencatat adanya risiko tambahan beban APBN yang dapat muncul akibat potensi penambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi dari masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling, terutama yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.

Selain itu, dia menyoroti kondisi oversupply listrik di Tanah Air. Bahkan, untuk kelebihan listrik sebesar 1 Gigawatt (GW), biaya kompensasi atas konsekuensi skema Take or Pay yang harus dikeluarkan oleh para pembayar pajak bisa mencapai Rp3 triliun per GW.

Baca Juga: Pemerintah dan DPR Belum Temukan Jalan Tengah Soal Fleksibilitas TKDN di RUU EBET

Oleh karena itu, Salamudin menekankan perlunya kewaspadaan dari pemerintah dan DPR terkait klausul power wheeling dalam RUU EBET. Menurutnya, klausul tersebut telah dihapus pada awal tahun ini, namun muncul kembali tiga bulan kemudian.

Dia juga mencatat bahwa sejarah pembahasan RUU berkaitan dengan energi menunjukkan bahwa klausul power wheeling selalu diupayakan untuk dimasukkan oleh para pengusaha, meskipun sebelumnya telah ditolak dalam pembahasan draft RUU Energi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[ntensive Boothcamp] Business Intelligence with Ms Excel Sales for Non-Sales (Sales for Non-Sales Bukan Orang Sales, Bisa Menjual?)

[X]
×