kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Begini Hubungan Super Grid Dengan Skema Power Wheeling


Minggu, 06 Agustus 2023 / 18:01 WIB
Begini Hubungan Super Grid Dengan Skema Power Wheeling
ILUSTRASI. Pengembangan super grid tidak harus menggunakan power wheeling.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa pihak mengaitkan program super grid dengan skema penggunaan jaringan bersama atau power wheeling. Memang sejatinya, kedua hal ini memiliki satu keterkaitan. 

Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, super grid adalah infrastruktur ketenagalistrikan yang terbentang untuk menghubungkan jaringan (interkoneksi) antarpulau maupun intrapulau. 

Super grid yang dibangun di Indonesia, artinya, sistem kelistrikan yang terbentang dari barat hingga timur Indonesia yang menghubungkan jaringan dalam pulau, hingga mengoneksikan setrum untuk Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, hingga ke Papua. 

Fabby menegaskan, bahwa pengembangan super grid tidak harus menggunakan power wheeling. Tetapi dalam konteks pengembangan jaringan listrik di daerah yang mau mengoptimalkan sumber energi terbarukan (ET), bisa menggunakan skema pemanfaatan jaringan bersama ini. 

“Sebab saat ini antara permintaan listrik dengan sumber daya Energi Baru Terbarukan (EBT) atau potensi EBT di daerah tidak sama,” ujar dia kepada Kontan.co.id, Minggu (6/8). 

Baca Juga: Proyek Super Grid Bakal Masuk RUPTL 2022-2031

Fabby memberikan gambaran, misalnya saja ada pabrik pengolahan dan permurnian mineral (smelter) yang mau menggunakan listrik hijau. Namun di kawasan tersebut jarak dari pabrik ke sumber listrik hijau cukup jauh. 

Lantas jika ada pihak lain yang mau membangun pembangkit hijau untuk memasok kebutuhan listrik bersih ke sana, tentu dibutuhkan jaringan listrik untuk mengevakuasi daya. 

Ketimbang harus membangun jaringan listrik baru yang biayanya sangat mahal terutama di wilayah terpencil, lebih efisien jika memanfaatkan jaringan yang ada baik itu dari PLN maupun jaringan pemilik izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum (IUPTLU). 

Sebenarnya bisa juga dengan cara lain, yakni bermitra dengan wilayah usaha lain untuk membangun jaringan transmisi yang bisa dimanfaatkan. Adapun pemanfaatan jaringan listrik ini harus berbayar layaknya penggunaan pipa gas (melalui toll fee) atau jalan tol. 

Baca Juga: RI Mau Bangun Super Grid untuk Dorong Pengembangan EBT, Berapa investasinya?

“Jadi power wheeling ini merupakan pemanfaatan jaringan bersama tenaga listrik karena pembangunan transmisi listrik  biayanya mahal. Pengembalian investasi tidak bisa besar maka aset ini harus dioptimalkan dengan cara penggunaan bersama. Dengan begitu return of investment (RoI) bisa lebih cepat,” ujar dia. 

Fabby mengakui saat ini sudah banyak perusahaan atau pengembang swasta yang berminat untuk membangun pembangkit EBT jika skema power wheeling bisa dijalankan. 

Beberapa pihak yang berminat ialah perusahaan listrik yang selama ini menjadi Independent Power Producer (IPP) EBT. Kemudian pemilik wilayah usaha ketenagalistrikan yang mengoperasikan captive power, hingga private power utility (PPU). Selain itu, kabarnya Pertamina NRE itu juga berminat seiring pengembangan green ammonia dan hidrogen. 

“Biaya transportasi untuk mengangkut green ammonia atau hidrogen kan mahal, lebih ideal jika langsung ditransfer listriknya, dan elektrolisis dibangun di dekat lokasi permintaan,” ujarnya. 

Baca Juga: Sumberdaya Gas Bumi Potensial, Pemerintah Bakal Menggenjot Infrastruktur Pipa

Fabby menjelaskan, dalam rangka meningkatkan kelayakan ekonomi dan teknis pengembangan jaringan listrik demi proyek super grid, maka masuk akal jika ada aturan power wheeling. Dengan begini, investasi membangun transmisi listrik bisa lebih efisien dan meningkatkan permintaan EBT. 

Sayangnya, skema power wheeling dipastikan tidak masuk di dalam aturan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (UU EBET) yang saat ini masih dirancang oleh DPR RI dan Kementerian ESDM. 

Namun, Fabby menyatakan, meski tidak masuk dalam UU EBET, pelaksanaan skema power wheeling bisa menggunakan instrumen lain seperti Peraturan Presiden (Perpres) yang berisikan ketentuan, tarif, willing charge. Kemudian aturan lebih detail diturunkan di Peraturan Menteri (Permen). 

Mengingat pemerintah Indonesia memiliki target ambisius untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di dalam sistem kelistrikan primer, maka paling tidak aturan yang lebih jelas soal skema power wheeling bisa segera ada di 2025. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×