Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Narita Indrastiti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat Pertanian Khudori mengatakan, pemerintah seharusnya tidak hanya memberi Bulog tugas untuk menyerap beras, namun juga harus memikirtkan outlet penyaluran berasnya.
Pasalnya, bila outlet penyaluran ini luput dari perhatian, maka salah satu Badan Usaha Milik Negara bisa mengalami kerugian.
Khudori menyampaikan hal tersebut lantaran di tahun mendatang, beras sejahtera (rastra) sudah diubah menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
“Itu artinya tugas PSO bulog tidak ada lagi. Kalau Bulog menyerap beras baik domestik dan impor dalam jumlah besar, beras itu mau dikemanakan, karena penyalurannya sudah tidak ada,” tutur Khudori kepada Kontan.co.id, Kamis (20/9).
Khudori merasa, impor Bulog pun tak perlu ditambah selain dari izin impor yang diberikan tahun ini. Pasalnya, saat ini Bulog memiliki stok cadangan beras pemerintah sebesar 2,4 juta ton, bila ditambah dengan impor beras yang belum direalisasikan sebesar 400.000 ton dan serapan dalam negeri, maka beras Bulog akan berlebih.
Dalam konferensi pers Rabu (19/9), Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyebutkan, Oktober mendatang akan ada beras impor yang masuk Indonesia sebanyak 400.000 ton. Dengan begitu, total realisasi impor beras tahun ini berkisar 1,8 juta ton dari izin impor yang diberikan sebesar 2 juta ton.
Dengan stok beras yang mencapai 2,4 juta ton saat ini dengan tambahan beras impor dan pasokan dalam negeri, maka Bulog memperkirakan, stok cadangan beras pemerintah hingga akhir tahun akan mencapai 3 juta ton.
Angka ini sudah dikurangi penyaluran rastra yang tinggal 100.000 ton lagi. Mengingat angka ini, Budi pun menyampaikan Bulog sudah tak perlu melakukan impor hingga akhir tahun 2019.
Khudori pun menyoroti data yang ada saat ini. Menurutnya, data sangat penting untuk digunakan dalam mengambil kebijakan publik. Bila data tak akurat, maka kebijakan yang diambil bisa keliru dan menyesatkan.
Terkait data perberasan nasional, Khudori pun menyoroti data produksi beras dari Kementerian Pertanian. Berdasarkan data Kemtan, produksi gabah kering giling di 2017 mencapai 81,3 juta ton atau setara 46,3 juta ton beras. Sementara, total konsumsi beras setara 29,7 juta ton beras. Dengan begitu, terdapat surplus beras sebesar 16,6 juta ton.
Menurut Khudori, harga akan tertekan ke bawah bila kondisi beras surplus. Yang terjadi saat ini harga terus meningkat. Menurutnya, bisa jadi hal ini disebabkan oleh spekulan yang mengambil untung bila kenaikan hanya terjadi selama 2 - 3 hari. Namun, melihat kenaikan harga terjadi selama berbulan-bulan, ini pertanda pasokan bermasalah.
Khudori menambahkan, Badan Pusat Statistik pun sudah tak mempublikasikan data pangan sejak 2016. Meski begitu, BPS dan BPPT pun tengah mengembangkan metode pengumpulan data baru yang lebih transparan, dan terbebas dari konflik kepentingan pengumpul data.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News