kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45907,10   3,77   0.42%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat soroti kebijakan ekspor impor dalam regulasi PLTS Atap


Minggu, 15 Agustus 2021 / 14:32 WIB
Pengamat soroti kebijakan ekspor impor dalam regulasi PLTS Atap
ILUSTRASI. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Pertamina.


Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah merevisi Permen ESDM No.49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero) dinilai berpotensi membebani sejumlah kalangan pelanggan.

Pakar energi listrik Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung Nanang Hariyanto mengungkapkan rencana perubahan ekspor impor energi listrik dari semula 65% menjadi 100% berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PT PLN (Persero). Ia menilai pelanggan harus membayar listrik lebih mahal sebagai dampak kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) akibat pertambahan jumlah PLTS Atap yang masif dan harga beli listriknya yang tinggi. 

Nanang mengatakan jika dipasang PLTS Atap, beban yang ada di rumah akan mengambil lebih dulu energi yang dihasilkan dari PLTS Atap. Sisanya dari solar radiasi yang dihasilkan kemudian dikirim ke jaringan PLN. Dari jaringan PLN kemudian dikirim ke rumah-rumah yang lain. Harga listrik sisa harus dibeli PLN dengan harga yang sama dengan harga jual listrik PLN sebesar Rp1.440,7 per KWh. 

“Ini yang saya lihat tidak adil. Waktu pengiriman ada susut energi karena melalui jaringan PLN. Belum lagi ada biaya pemeliharaan jaringan dan biaya pengembalian investasi jaringan PLN. Harganya harus adil,” ujar Nanang dalam keterangan resmi, Minggu (15/8).

Baca Juga: Kementerian ESDM targetkan instalasi PLTS Atap capai 70 MWp di 2021

Asal tahu saja, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kini tengah mendorong pengembangan PLTS Atap. Hal ini demi mempercepat bauran energi terbarukan (EBT) menjadi 23% pada 2025. Salah satu insentif yang disiapkan pemerintah adalah revisi terhadap Peraturan ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). 

Isi dari Permen ESDM yang sedang diharmonisasi tersebut menyatakan bahwa tarif ekspor-impor PLTS Atap akan mencapai hingga 100% atau naik 35% dibandingkan dengan peraturan lama yang hanya 65%. Nanang mengungkapkan, dengan demikian PLN harus membeli 100% listrik PLTS atap.

Menurut Nanang,  harga jual listrik dari PLTS Atap lebih mahal dibandingkan pembangkit PLTS non-Atap. Dia mencontohkan PLTS non-Atap seperti PLTS Cirata harga jual listriknya adalah US$4 sen per KWh atau setara Rp600 per KWh. Sedangkan PLTS Atap dijual ke PLN seharga Rp1.440 per KWh. “Akibatnya, tentu saja Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN akan naik,” kata Ketua Laboratorium Sistem Tenaga Listrik ITB. 

Selain itu, lanjut Nanang, sistem kelistrikan Jawa Bali ditopang banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang harus terus menerus beroperasi. Namun karena ada PLTS Atap, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS Atap. Akibatnya, operasi PLTU di tekan ke bawah. 




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×