Reporter: Filemon Agung | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) menjelaskan sejumlah alasan mengapa pembangunan kilang minyak perlu dilakukan dalam 6 hingga 7 tahun ke depan.
CEO Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina Internasional) Ignatius Tallulembang bilang Pertamina berambisi menjadi perusahaan migas terbaik di region Asia Tenggara dalam hal pengelolaan kilang minyak dan petrokimia.
"Kita targetkan bangun kapasitas mencapai 1,8 juta barel per hari (bph) dan yang terbesar di region ini. Saat ini Singapura yang terbesar, 1,5 juta bph," terang Ignatius dalam diskusi virtual, Sabtu (27/6).
Baca Juga: Garap proyek kilang US$ 48 miliar, Pertamina akui tak kuat danai sendiri
Ignatius melanjutkan, pihaknya juga berupaya menciptakan efisiensi dalam pengelolaan produk dan adopsi teknologi terbaru.
Tak sampai di situ, menurutnya kilang-kilang eksisting dirancang untuk mengelola crude domestik yang kualitasnya berbeda dengan crude impor. Di sisi lain, kondisi produksi dalam negeri yang terus menurun membuat Pertamina mau tidak mau harus meningkatkan kualitas kilang yang dimiliki.
Selain untuk memungkinkan pengolahan crude dari pasar luar negeri, Ignatius menjelaskan ada efisiensi biaya yang bisa diperoleh. Pasalnya jenis crude dalam negeri lebih mahal sekitar US$ 5 hingga US$ 7 per barel ketimbang crude impor.
Ia menambahkan, pembangunan kilang minyak juga akan diintegrasikan dengan kilang petrokimia untuk mengonversi produk BBM menjadi produk petrokimia.
Asal tahu saja, Pertamina menargetkan peningkatan kapasitas pengolahan kilang hingga 1,8 juta bph dengan total investasi mencapai US$ 48 miliar lewat empat proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan dua proyek Grass Root Refinery (GRR).
Ignatius mengungkapkan kilang-kilang yang ada di tanah air tergolong tua dan hanya mampu menghasilkan produk BBM berkualitas rendah atau setara Euro I dan Euro II.
Baca Juga: Bangun empat kilang senilai US$ 48 miliar, Pertamina tak kuat mendanai sendirian
"Dari kualitas memang tertinggal dengan negara sekitar. Tidak ada kata lain, dalam rangka upgrading, akan kita dorong produk-produk yang setara Euro v," jelas Ignatius.
Selain itu, daya saing kilang dalam negeri juga masih kalah dengan negara lain. Ia mencontohkan untuk menghasilkan produk BBM, kilang eksisting saat ini membutuhkan biaya US$ 115 per barel. Masih kalah dengan Singapura yang sebesar US$ 112 per barel.
"Kita masih kalah kompetitif. Ini yang harus pahami bersama, daripada impor BBM negara-negara banyak yang memilih untuk impor crude. Artinya lebih memilih membangun kilang. Ini berkaitan dengan ketahanan energi, bukan melulu soal keekonomian," tandas Ignatius.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News