Reporter: Muhammad Julian | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana melakukan konversi terhadap 200 unit pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal). Nantinya PLTD tersebut akan dikonversi menjadi pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).
Direktur Megaproyek dan EBT PLN Muhammad Ikhsan Asaad mengatakan, saat ini pihaknya tengah menyiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk melakukan pelelangan terbuka atas proyek konversi EBT tersebut.
“Mungkin bulan Mei kami mulai buka pelelangannya, kami lagi menyiapkan semua dokumen-dokumennya supaya banyak investor yang tertarik masuk,” ujar dia kepada Kontan.co.id, Selasa (20/4).
Nantinya, pembangkit listrik berbasis EBT yang akan dibangun memanfaatkan sumber-sumber seperti energi matahari. Pembangkit tenaga listrik tersebut juga akan dilengkapi dengan baterai guna menyimpan energi agar bisa mengaliri listrik selama 24 jam.
Pembangkit listrik EBT di 200 lokasi ini diproyeksi memiliki total kapasitas 600 MW (peak) - 800 MW (peak). Total nilai investasi untuk proyek ini diperkirakan berkisar antara Rp 18 triliun - Rp 20 triliun.
Ikhsan menjelaskan, proyek konversi PLTD di 200 lokasi ini merupakan tahap pertama dari mega proyek konversi sekitar 5.000 unit PLTD di 2.130 lokasi yang akan berlangsung hingga 2025 mendatang. Proyek konversi ini, bisa membawa sejumlah manfaat.
Baca Juga: Pemerintah prioritaskan lima kegiatan utama energi baru terbarukan
Dari segi biaya, pemanfaatan pembangkit listrik berbasis EBT di daerah 3 T ini diproyeksi menghemat biaya pokok produksi (BPP) PLN. Dengan memanfaatkan pembangkit listrik EBT, BPP PLN diperkirakan hanya mencapai Rp 2.500 per kwh.
Biaya tersebut relatif lebih rendah ketimbang BPP PLTD di daerah 3T yang bisa berkisar Rp 5.000 per kwh atau bahkan Rp 10.000 per kwh. Pasalnya, di beberapa wilayah, depo-depo minyak Pertamina hanyna berlokasi di kota-kota besar, sehingga PLN harus menanggung biaya angkut diesel dari depo ke daerah 3T.
Padahal, medan yang perlu dilalui dalam pengangkutan diesel juga terkadang tidak mudah untuk dilalui sehingga memerlukan biaya angkut yang besar.
“Apalagi di Papua misalkan, mengangkutnya naik pesawat, kemudian di daerah-daerah seperti Maluku, di Maluku Utara itu kan pulau ya, ada yang (pengangkutannya) naik kapal, akibatnya besar biaya kami untuk bayar angkutan minyak tadi,” terang Ikhsan.
Di sisi lain, pemanfaatan pembangkit listrik berbasis EBT juga dipercaya bisa membantu pemerintah dalam mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM).
Menurut catatan Ikhsan, nilai importasi BBM untuk kebutuhan energi di 2.130 lokasi yang menjadi sasaran proyek konversi bisa mencapai kurang lebih Rp 20 triliun dalam setahun.
Selain itu, penggunaan pembangkit listrik berbasis EBT juga dipercaya bisa lebih menyejahterakan masyarakat setempat di daerah 3T karena bisa mengaliri listrik selama 24 jam penuh.
“(Penggunaan pembangkit listrik EBT) bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena selama ini nyalanya cuman 6 jam, sekarang bisa 24 jam,” pungkas Ikhsan.
Selanjutnya: Begini strategi China kebut proyek pembangkit listrik tenaga surya dan angin
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News