Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) masih menunggu diluncurkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk keramik atau ubin asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau China.
Ketua Asaki, Eddy Suyanto mengatakan pihaknya saat ini telah menyurati Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk meminta atensi dan keseriusan serta mendesak agar PMK BMAD segera disahkan.
"Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sudah lebih dari 30 hari sejak tanggal Surat Keputusan Menteri Perdagangan tentang Pengenaan BMAD atas Impor Ubin Keramik asal RRT, namun sampai saat ini belum dikeluarkannya PMK BMAD oleh Menkeu," ungkap ketua Asaki, Eddy Suyanto dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan, Jumat (06/09).
Tidak bisa dipungkiri penyebab utama kinerja industri keramik nasional yang menurun dari tahun ke tahun tersebut kata dia, diakibatkan oleh gempuran produk impor ubin keramik asal RRT yang telah terbukti melakukan unfair trade berupa tindakan dumping.
"Asaki sangat menyayangkan seharusnya Pemerintah dalam hal ini Kemenkeu bisa mengutamakan Kepentingan Industri Nasional yang saat ini sedang terpuruk dan terlihat jelas dari angka PMI Juli dan Agustus ini yang terkontraksi," ungkapnya.
Baca Juga: Penerapan BMAD Keramik Menanti PMK
Lambannya PMK BMAD atas impor ubin keramik asal RRT menurut Eddy akan memberi peluang bagi para importir untuk terus melakukan kegiatan importasi dengan jumlah volume impor yang sangat masif di atas angka rata-rata impor sebelumnya. Adapun, angka volume impor dari Tiongkok semester 1 tahun 2024 ini, naik kembali sebesar 11,6% menjadi 34,9 juta m2.
"Ini sebagai upaya Importir untuk menghindari pengenaan BMAD yang diperkirakan sebesar 40% - 50% sampai dikeluarkannya PMK BMAD tersebut sehingga membuat kebijakan BMAD kurang efektif untuk jangka waktu beberapa bulan ke depan," ungkapnya.
Dengan terjadinya Penurunan Tingkat utilisasi Produk Keramik Nasional semester 1 tahun 2024, pabrik-pabrik keramik hanya mampu beroperasi di level 62% turun dibandingkan tahun 2023 (69%) dari tahun 2022 (78%).
"Defisit transaksi ekspor & impor keramik 5 tahun terakhir sebesar US$ 1,24 Milyar dengan periode 2018 hingga 2023. ini yang semestinya tidak perlu terjadi karena Industri Keramik Nasional memiliki kapasitas produksi 625 juta m2/tahun yang mampu memenuhi semua kebutuhan keramik dalam negeri," katanya.
Selain penurunan utilitas dan defisit ekspor-impor, Asaki juga mengatakan telah ada 6 perusahaan di industri keramik yang terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena tidak bisa beroperasi lagi.
"Terdapat lebih dari 6 perusahaan dalam waktu beberapa tahun terakhir yang terpaksa menghentikan seluruh kegiatan operasionalnya sehingga menyebabkan terjadinya perumahan dan PHK tenaga kerja," jelas Eddy.
Baca Juga: Industri Tunggu Keseriusan Pemerintah Terapkan BMAD
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News