Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mulai menawarkan sejumlah insentif bagi perusahaan batubara yang bersedia terlibat dalam proyek hilirisasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME), sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg.
Salah satu insentif utama yang ditawarkan adalah penetapan proyek sebagai bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yang diyakini dapat memberikan kemudahan investasi dari sisi fiskal maupun nonfiskal.
"Ini penting, beberapa proyek sudah kami berikan KEK untuk DME," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Indonesia Mining Forum 2025 yang disiarkan melalui YouTube, Kamis (31/7).
Hal ini turut dikonfirmasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Tri Winarno menyatakan bahwa status KEK akan diberikan setelah proyek DME mulai berjalan.
Baca Juga: Proyek DME Batubara akan Masuk Wilayah KEK, Daerah Paling Potensial di Kalimantan
"KEK itu setelahnya ya, setelah jadi (DME), itu jadi Kawasan Ekonomi Khusus. Artinya nanti yang kita finalkan ini dulu (proyek DME), step by step dulu lah," ujar Tri saat ditemui di Jakarta, Kamis (31/7).
Tri menambahkan bahwa wilayah yang berpotensi ditetapkan sebagai KEK khusus DME berada di Kalimantan, terutama Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
Ia juga menyebutkan bahwa insentif berupa fasilitas fiskal dan non-fiskal kemungkinan besar akan diberikan jika proyek tersebut masuk dalam KEK. "Iya insentif (ada), tapi saya kurang (tahu) untuk detailnya insentifnya apa saja," ungkapnya.
Industri Sambut Positif
Tawaran pemerintah ini disambut positif oleh pelaku industri. Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai penetapan status KEK dapat meningkatkan keekonomian proyek DME.
Baca Juga: 6 Proyek Hilirisasi Batubara Jadi DME, Pengusaha Tambang Akui Pasar Masih Belum Jelas
"Dari pandangan perusahaan-perusahaan anggota IMA yang diwajibkan dan diberi penugasan untuk berinvestasi di proyek-proyek peningkatan nilai tambah (hilirisasi) batubara, kami melihat bahwa status KEK berpotensi besar untuk membantu meningkatkan keekonomian pengembangan proyek DME," kata Hendra saat dihubungi, Minggu (3/8/2025).
Menurut Hendra, manfaat tersebut berasal dari efisiensi biaya investasi, kemudahan perizinan, serta dukungan infrastruktur.
“Dengan adanya fasilitas fiskal dan non-fiskal yang melekat pada KEK, seperti pembebasan bea masuk atas impor barang modal, tax holiday, dan pembebasan PPN, kami berharap hal tersebut dapat mengurangi biaya investasi awal yang signifikan untuk proyek berskala besar seperti pabrik DME,” jelasnya.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahirani juga menyampaikan pandangan senada. Ia menekankan pentingnya insentif mengingat besarnya investasi yang diperlukan, serta pentingnya kepastian dalam perhitungan risiko.
“Secara teknis, tantangan hilirisasi memang harus dilihat menyeluruh, termasuk logistik pembangunan pabrik, teknologi serta regulasi,” ujarnya, Minggu (3/8/2025).
Di sisi lain, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menekankan perlunya perhitungan lebih rinci terkait pemberian insentif dan fasilitas KEK untuk menurunkan biaya operasional.
Baca Juga: Perusahaan India, Emmsons Ungkap Niat Investasi di Proyek Hilirisasi Batubara DME
“Karena mengingat nilai investasi serta biaya operasional proyek hilirisasi batubara menjadi DME ini besar sekali. Sehingga akan dihasilkan harga jual yang masih lebih tinggi dibandingkan harga DME yang diharapkan atau harga patokan yang ditetapkan oleh pemerintah, bahkan lebih tinggi dari harga LPG impor,” ungkap Ketua Umum Perhapi, Sudirman Widhy, kepada Kontan, Minggu (3/8/2025).
Sebagai catatan, hasil kajian PT Bukit Asam Tbk (PTBA) bersama konsultan Ernst & Young (EY) menyebut bahwa harga DME yang dihasilkan mencapai US$ 911 hingga US$ 987 per ton. Angka ini jauh di atas harga patokan DME yang diusulkan Kementerian ESDM pada 2021, yakni US$ 617 per ton, yang merupakan harga pasar tanpa subsidi.
Jika proyek ini berjalan dengan harga tersebut, maka nilai subsidi untuk DME bisa mencapai US\$710 per ton—lebih tinggi dibandingkan nilai subsidi LPG setara DME yang saat ini sebesar US$ 474 per ton.
"Jika hal seperti ini masih terulang, di mana tidak ada titik temu antara harga keekonomian dengan harga beli dari offtaker, maka pemberian fasilitas KEK pun tidak akan dapat membantu terealisasinya proyek hilirisasi," jelas Sudirman.
Baca Juga: PTBA Ungkap Kendala Pertamina Sebagai Offtaker Proyek DME
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, mengatakan bahwa insentif KEK memang dapat menarik investor, tetapi belum cukup menjamin kelayakan proyek secara ekonomi.
"Tetapi secara keekonomian masih belum menjanjikan prospek cerah dan masih belum menjamin proyek ke depan, kecuali ada jaminan pasar, kebijakan harga jual dan insentif harga, serta jaminan kepastian hukum," jelasnya.
Namun, ia menilai langkah pemerintah menetapkan KEK mencerminkan keseriusan dalam menggarap proyek DME. “Sekarang, belum banyak pihak yang berani serius garap DME. Selain itu, pasar belum siap bahkan belum jelas, dan tantangan kepastian hukum karena ini investasi besar dan jangka panjang,” tambahnya.
Baca Juga: Proyek Hilirisasi Batubara Jadi DME, Pengusaha Batubara Ungkap Kesiapannya
Ke depan, menurut Bisman, pemerintah perlu memberikan jaminan kepastian hukum dan kepastian pasar bagi investor, di samping insentif dan solusi atas berbagai tantangan yang ada.
Selanjutnya: BMKG Deteksi Bibit Siklon Tropis 90S di Samudra Hindia, Waspada Gelombang Tinggi
Menarik Dibaca: BMKG Deteksi Bibit Siklon Tropis 90S di Samudra Hindia, Waspada Gelombang Tinggi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News