Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepertinya pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) batal menerapkan royalti progresif bagi komoditas emas, tembaga dan perak. Alasannya, sampai saat ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemko Perekonomian) tak kunjung meneruskan pembahasan itu.
Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Jonson Pakpahan mengamini, penerapan royalti progresif bisa jadi hanya sekedar wacana. Pasalnya, tidak ada lagi undangan untuk membahas itu dari Menko Perekonomian maupun Kementerian Keuangan.
"Kelihatannya begitu (batal) tapi ini belum pasti. Ini wacana yang salah satu pembahasannya masih pending," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Minggu (1/4).
Asal tahu saja, rencananya tarif royalti progresif bagi emas, tembaga dan perak ini akan merevisi Peraturan Pemerintah No. 9/2012 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk komoditas emas, perak dan tembaga.
Adapun rencana sebelumnya, penetapan tarif royalti progresif senilai 0,25% akan dikenakan bagi komoditas emas apabila harga emas mencapai US$ 1.300 per ons troi. Selanjutnya apabila harga emas naik lagi di atas US$ 100 per ons troi akan dikenakan lagi 0,25%.
Jonson menginginkan tarif royalti progresif ini tetap dilaksanakan. Hal itu untuk mendongkrak Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sub sektor mineral dan batubara (Minerba) pasca diyakini akan turunnya PNBP akibat penetapan harga batubara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) untuk pembangkit listrik milik PT PLN (Persero) senilai US$ 70 per ton yang katanya bisa menurun hingga 30%.
"Kita inginnya ada tarif progresif itu. Tapi Kemko Perekonomian tidak. Saya belum tahu alasannya. Kelihatannya perusahaan tidak mau dan keberatan," tandasnya.
Sebagai penutup, Jonson bilang, jika rencana penerapan royalti progresif ini batal. Maka, royalti tiap perusahaan pertambangan tetap akan berdasarkan Harga Patokan Mineral (HPM) dari total jual dikalikan kuantiti. "Kalau lewat HPM, pastinya jauh dibandingkan tarif progresif ini," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News