Reporter: Merlinda Riska | Editor: Amailia Putri
JAKARTA. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS merupakan mimpi buruk bagi industri yang harus mengimpor bahan baku. Nasib semacam itu dialami PT Ricky Putra Globalindo Tbk (RICY). Produsen pakaian dalam GT Man ini harus mengimpor 100% bahan baku dari China dan India.
Terperosoknya kurs rupiah di level Rp 10.265 per dollar AS akan membuat ongkos produksi membengkak. Buntutnya, keuntungan berpotensi menipis. Tirta Heru Citra, Direktur Keuangan Ricky Putra mengaku telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mengatasi hal tersebut.
"Kami masih bisa menanganinya dengan ekspor," ujarnya kepada KONTAN, Minggu (28/7). Tahun ini, perusahaan menargetkan bisa menggenjot penjualan ekspor hingga naik 30% dibanding hasil di tahun lalu. Mengutip laporan keuangan Ricky Putra tahun lalu, nilai total penjualan bersih Rp 749,97 miliar. Dari jumlah itu, penjualan ekspornya senilai Rp 214,66 miliar.
Perinciannya, ekspor garmen sebesar Rp 162,19 miliar dan dari bisnis pemintalan benang senilai Rp 52,47 miliar. Jika target tercapai, maka penjualan RICY ke pasar global bisa mencapai Rp 558,16 miliar. Manajemen optimistis target tersebut tercapai seiring dengan mulai dipasarkannya produk GT Man ke Malaysia dan Vietnam.
Menaikkan Harga
Selama ini, Ricky Putra kerap mendapat order dari sejumlah produsen apparel yang berbasis di Jepang. Nah, tahun ini, perseroan ingin mencoba peruntungannya, masuk ke pasar dengan menggunakan merek sendiri. Menurut Tirta, penjualan dari ekspor di tahun ini bisa menutup mahalnya bahan baku.
Strategi lain yang akan dilakukan perusahaan adalah menyiasati pembelian bahan baku. Ricky Putra membeli bahan baku tiga bulan sekali, bukan setiap bulan. Manajemen Ricky Putra menuturkan, bahan baku yang dimiliki, kini, cukup untuk memenuhi kebutuhan selama tiga bulan.
Manajamen Ricky Putra optimistis bisa menyiasati dampak melemahnya kurs rupiah terhadap dollar AS. Mereka menilai dampak kurs tidak seberat imbas kenaikan tarif listrik, upah buruh dan harga bahan bakar minyak (BBM). Karena itu, perusahaan tidak terburu-buru menaikkan harga jual. "Itu opsi terakhir bagi kami," tutur Tirta.
Sepanjang April 2013, Ricky Putra telah mengerek harga jual berkisar 3%-5%. Saat ini, perseroan masih mengamati efektivitas kenaikan harga jual yang dilakukan di kuartal kedua itu. Tambahan informasi, kenaikan harga saat itu mengimbangi naiknya tarif listrik dan harga BBM. Menurut hitungan Ricky Putra, mahalnya tarif listrik dan BBM membuat beban produksi perusahaan meningkat sekitar 20%-30%.
Pengelola Ricky Putra optimistis, target penjualan di tahun ini bisa tercapai. Proyeksi perseroan, penjualan bisa mencapai Rp 880 miliar sepanjang 2013. Angka itu mencerminkan kenaikan sekitar 17% dari penjualan tahun lalu, yaitu Rp 749 miliar.
Hingga akhir Juni 2013, manajemen Ricky Putra, memperkirakan nilai penjualannya mencapai Rp 440 miliar. Angka itu naik 35,86% dari pencapaiannya di semester I-2012, yaitu Rp 323,35 miliar. Ricky Putra, kini, memiliki 20 jaringan distribusi, dengan total outlet mencapai 14.000 di seluruh wilayah Indonesia.
Sampai tutup tahun 2013, perusahaan yang sahamnya dikuasai oleh Spanola Holding, Ltd itu, menargetkan bisa menambah outlet-nya jadi 15.000 gerai. Penambahan gerai ini merupakan salah satu strategi perusahaan untuk memperbaiki kinerja keuangannya. Selain memperbanyak gerai, Ricky Putra berniat menambah merek baru untuk outerwear.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News