Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dinilai belum mewadahi aspirasi seluruh kelompok khususnya perempuan.
Salah satunya aspirasi dan kebutuhan dari kelompok perempuan serta kelompok masyarakat di daerah 3T. Ini terungkap dalam Webinar RUU EBT: Melihat lebih jauh Perspektif Gender Diakomodasi dalam Kebijakan Energi yang diselenggarakan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), baru-baru ini.
Koalisi Perempuan Indonesia dalam keterangan resminya menilai energi erat kaitannya dengan kehidupan perempuan. Jenis energi yang sarat emisi dan polusi akan berdampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan perempuan, terutama di daerah 3T di Indonesia.
Tidak hanya itu, selama ini perempuan hanya ditempatkan sebagai konsumen energi, padahal seharusnya ada kesempatan bagi masyarakat umum, termasuk perempuan di rumah untuk memproduksi energi dan menggunakannya sendiri.
Untuk itu, KPI mendorong DPR RI dan pemerintah untuk memposisikan perempuan sebagai produsen energi. Selain itu, dari sisi kebijakan energi, KPI mendesak agar dibuat kebijakan pengembangan energi bersih terbarukan yang terjangkau di tingkat lokal dibandingkan mengandalkan energi fosil dan nuklir.
Baca Juga: Bisnis EBT Semacom Integrated (SEMA) Semakin Luas
Presidium Nasional Perempuan Petani KPI Dian Aryani mengungkapkan, kelompok perempuan seringkali tidak dilibatkan atau dilatih dalam pengembangan energi baru terbarukan.
Selain itu, Dian menilai, pengembangan energi baru sebaiknya berfokus pada pemanfaatan energi bersih yang tidak mengandung polutan serta energi terbarukan. Keberadaan pasal yang mengatur perlindungan inisiatif masyarakat dalam membangun, mengembangkan dan memanfaatkan energi bersih terbarukan menjadi penting terutama untuk skala rumah tangga dan skala komunitas yang bersifat non komersial.
“Selain itu, pemerintah perlu menerapkan pengarusutamaan gender dalam kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengembangan EBT,” kata Dian dalam keterangan resmi, Rabu (9/3).
Asisten Deputi Direktur Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Maftuh Muhtadi mengungkapkan, perempuan masih dipandang sebagai konsumen utama energi listrik.
"Selama ini pengelolaan energi selalu dilekatkan dengan tanggung jawab perempuan terkait peran domestiknya. Konsumsi energi cenderung belum efisien dan peran perempuan penting untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan energi," jelasnya.
Menyoroti masih adanya porsi energi fosil di RUU EBT dalam bentuk hilirisasi batubara, Maftuh tidak bisa seratus persen menolak energi fosil. Menurutnya, yang terpenting adalah memastikan produksi, distribusi, konsumsi energi mempunyai efek negatif yang sedikit.
Tolak Nuklir
Sementara itu, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Mohamad Yadi Sofyan menilai langkah pemerintah memasukkan nuklir dalam RUU EBT bukanlah tindakan yang tepat. Pihaknya menolak pembangunan PLTN karena berpotensi memberikan dampak negatif pada ekonomi petani dan nelayan.
“Pembangunan PLTN meningkatkan risiko bagi petani dan nelayan karena PLTN menyerap dana besar dengan kemungkinan alokasi dari program-program lain seperti ketahanan pangan; Lahan yang dibutuhkan cukup luas sehingga mengancam akses dan aktivitas ekonomi para petani dan nelayan. Resiko kecelakaan PLTN ditanggung langsung oleh para petani dan nelayan yang berada di sekitar PLTN,” kata Sofyan.
Senada, Rinaldy Dalimi, Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menyebutkan keberadaan nuklir dalam RUU EBT justru akan menyulitkan pembangunan dan pengusahaan energi terbarukan
“RUU EBT jika dikaji dengan lebih mendalam, tidak akan disahkan dalam waktu dekat sebab setidaknya pemerintah pusat harus mempertimbangkan membangun 5 lembaga baru, dan harus menyediakan beragam insentif dan tempat pembuangan limbah radioaktif,” tambahnya.
Baca Juga: Kementerian ESDM Andalkan Perpres Tarif EBT untuk Genjot Investasi EBT
Rinaldy berpendapat ke depannya akan tiba masa saat semua orang mampu menghasilkan energinya sendiri, sehingga urusan energi bukan urusan pemerintah lagi, melainkan akan menjadi urusan rumah tangga. Dengan demikian, maka peran perempuan akan menjadi krusial dalam mengurus sektor energi.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto yang hadir pada kesempatan yang sama menginformasikan bahwa RUU EBT dalam 3 bulan ke depan sudah dapat disahkan.
Sugeng menyatakan, pihaknya mendorong pengembangan energi terbarukan sebagai suatu keharusan. Namun ia tidak menampik adanya sejumlah tantangan dalam mengembangan EBT seperti kekuatan politik besar masih condong ke energi fosil.
Sugeng memaparkan dalam proses pembuatan RUU EBT, partisipasi seluruh stakeholder, termasuk keterlibatan perempuan telah dilakukan. Menanggapi perihal nuklir dalam RUU EBT, meski menyatakan terbuka untuk setiap usulan dan masukan, namun ia berulang kali menjelaskan bahwa nuklir menjadi salah satu pilihan teknologi yang minim emisi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News