Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satuan Tugas Pengendalian Kawasan Hutan (Satgas PKH) Halilintar mengungkapkan aktivitas pertambangan ilegal di Indonesia dikendalikan pemodal besar yang sulit dijerat hukum. Sementara itu, masyarakat hanya berperan sebagai operator lapangan dengan imbalan minim.
Ketua Satgas Halilintar Mayjen TNI Febriel Buyung Sikumbang mengungkapkan, pola utama tambang ilegal menunjukkan keterlibatan aktor bermodal kuat. Menurutnya, penggunaan alat berat dalam jumlah besar tidak mungkin dilakukan masyarakat kecil.
“Kalau bisa mengerahkan alat berat dalam jumlah begitu besar, pasti bukan rakyat. Rakyat cuma jadi operator. Pemodal inilah yang mendapat benefit sangat besar,” ujar Febriel dalam keterangan resmi, Senin (15/12/2025).
Febriel menilai, pemberantasan tambang ilegal bukan sekadar penertiban masyarakat pencari nafkah, melainkan perang terhadap struktur modal dan jaringan terorganisir.
Baca Juga: Dorong Jadi Kreator Digital, TikTok Shop by Tokopedia Hadir di IMBEX 2025
Ia mencontohkan praktik di Bangka Belitung, di mana tambang timah tradisional yang dikelola warga hanya menghasilkan sekitar 6 kilogram–7 kilogram per hari. Sebaliknya, dengan alat berat, produksi bisa melonjak hingga sekitar 1 ton per hari.
Keuntungan besar tersebut semakin meningkat akibat mekanisme perdagangan yang tidak adil. Hasil tambang ilegal umumnya tidak dijual ke perusahaan negara seperti PT Timah Tbk dengan harga patokan, melainkan ke pengepul dengan harga lebih rendah, bahkan berpotensi diselundupkan ke luar negeri.
“Kalau dijual ke PT Timah harganya sekitar Rp 200.000-an, tapi ke pengepul, hasilnya lipat-lipat. Apalagi kalau diselundupkan keluar," kata Febriel.
Satgas Halilintar juga mengingatkan potensi penyusupan pemodal besar dalam skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Modus yang diwaspadai adalah penggunaan nama masyarakat sebagai kedok, sementara modal dan operasional tetap dikuasai pemain lama.
“Pola-pola seperti ini jangan sampai nanti mereka hanya berpindah. Dari yang sekarang ilegal, masuk ke dalam yang namanya tambang rakyat,” ujarnya.
Deputi Bidang Koordinasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi menyampaikan rencana pemerintah menerbitkan regulasi pengelolaan mineral kritis dan strategis. Salah satu fokus pembahasan adalah penanganan lanjutan tambang ilegal.
Elen mengatakan, penyusunan aturan tersebut akan melibatkan lintas kementerian dan lembaga, mulai dari Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, hingga Kementerian Hukum. Menurutnya, pembinaan tambang ilegal juga berpotensi melindungi mata pencaharian masyarakat sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
Baca Juga: Jelang Akhir Tahun, Pertamina Energy Terminal Perkuat Operasi dan Keamanan Pasokan
“Jadi, kalau ini berjalan dengan baik, pasti penerimaan ini berjalan dengan baik, masyarakat tadi pasti otomatis akan terbawa,” ujarnya.
Data Kementerian ESDM mencatat terdapat 2.741 lokasi pertambangan tanpa izin (PETI) di Indonesia pada 2022. Dari jumlah tersebut, 447 tambang ilegal berada di luar wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), 132 di dalam WIUP, dan 2.132 lokasi belum terdata secara jelas. Secara sebaran, PETI tersebut tercatat di 28 provinsi pada 2021.
Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah tambang ilegal terbanyak, yakni 649 lokasi, disusul Sumatera Selatan sebanyak 562 lokasi. Jawa Barat dan Jambi masing-masing mencatat 300 dan 178 tambang ilegal, sementara Nusa Tenggara Timur sebanyak 159 lokasi. Di sisi lain, Kementerian ESDM tidak mencatat keberadaan PETI di Aceh, Bali, Jakarta, Kalimantan Selatan, Riau, dan Sulawesi Selatan.
Selanjutnya: IHSG Menguat ke Atas 8.700 di Sesi Pertama, Top Gainers LQ45: MDKA, KLBF, ISAT
Menarik Dibaca: HP Samsung A16 Pakai Lensa Zoom hingga 10x, Harganya Mulai Rp 3 Jutaan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













