Reporter: Noverius Laoli | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Tanaman Kelapa Sawit kerap menjadi korban kampanye negatif dari negara penghasil minyak nabati pesaing utama minyak kelapa sawit. Untuk itu, dalam mengurangi kampanye negatif yang menilai tanaman sawit tidak ramah lingkungan, pemerintah didesak memasukkan tanaman sawit sebagai kategori tanaman hutan dalam definisi Food and Agriculture Organization (FAO).
Untuk itu, pemerintah perlu mengintensifkan diplomasi global agar hal itu dapat disetujui dan dapat mengurangi tekanan proxy war sawit.
Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dodik Ridho Nurrochmat mengemukakan, salah satu poin penting dalam diplomasi global adalah agar kegiatan penanaman sawit bisa masuk kategori tanaman hutan sesuai definisi FAO.
“Jika sawit masuk kategori tanaman hutan, tekanan sawit sebagai penyebab deforestasi akan berkurang. Sebaliknya, ekspansi sawit justru dianggap sebagai penambahan luasan tutupan kawasan hutan,” kata Dodiek, Jumat (23/9).
Dodiek bilang, diplomasi dilakukan China sehingga bambu masuk dalam definisi tanaman hutan FAO 2010. Diplomasi juga dilakukan sejumlah negara Eropa yang mampu menempatkan pohon cemara sebagai tanaman hutan. Sebenarnya, keluarga kelapa juga termasuk dalam tanaman hutan dalam definisi FAO 2010. Hanya saja, sawit dikeluarkan dari kategori tanaman hutan.
"Saya kira hal ini juga karena diplomasi. Jika sawit dapat tumbuh di Eropa, mungkin kita tidak perlu sibuk melakukan diplomasi," imbuhnya.
Sebelum melakukan diplomasi global, kata Dodiek, perlu dilakukan sejumlah kebijakan seperti mengintegrasikan kayu kebun sawit yang berasal dari peremajaan (replanting) untuk memenuhi kebutuhan kayu industri. “Dengan luasan 11,2 juta hektare kebun sawit, diperkirakan ada sekitar 55 juta m3 kayu sawit per tahun yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri kayu di Indonesia,” katanya
Hanya saja, Dodiek mengingatkan, untuk diplomasi itu, perlu kerjasama dan kesepahaman dari semua stakeholder di Indonesia. “Diplomasi ini seharusnya bisa dilakukan Indonesia. Malaysia saja mampu mempunyai kesepahaman pendapat antara pemerintah, rakyat, korporasi dan LSM ketika mereka berbicara mengenai sawit dalam berbagai forum internasional,” kata Dodiek.
Hal senada juga dikatakan Wakil ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi. Ia bilang, negara harus hadir membantu memerangi persaingan yang tidak sehat dalam perang industri minyak nabati.
Selama ini, peran negara untuk meperjuangkan sawit Indonesia dalam diplomasi global sangat lemah, sehingga kesan dunia internasional bahwa penanaman sawit di Indonesia merusak lingkungan masih melekat.
Harus disadari bahwa ada pertarungan yang tidak sehat dalam persaingan minyak nabati dunia dengan mengatasnamanakan lingkungan.”Disinilah, pentingnya negara mempunyai peran untuk membantu. Apalagi sawit mapu menghidupi 5 juta tenaga kerja dan member kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi,” kata Viva Yoga.
Sementara itu, mantan menteri Kehutanan MS Kaban mengatakan, pemanfaatan kawasan untuk penanaman sawit dibandingkan dengan luasan hutan di Indonesia sebenarnya masih terbuka untuk dikembangkan. Hanya saja, perlu peran aktif pemerintah untuk membenahi tata ruang agar pemanfataan kawasan tidak tumpang tindih. Dibandingkan China, Indonesia sebenarnya sangat tertinggal dalam pemanfataan hutan tanaman. Saat ini China mempunyai 20 juta hektar hutan tanaman yang terus dikembangkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News