Reporter: Aprillia Ika |
JAKARTA. Pernah makan sayuran organik? Terbayang kan betapa segar dan lebit rasanya. Apalagi penjualannya memakai kemasan tertentu yang menambah elit tampilan si sayur. Tentu saja, harga sayuran organik bisa dua kali lipat dari harga sayuran biasa.
Namun, walaupun harganya mahal, sayuran organik tetap dicari. Terutama bagi orang-orang yang sangat peduli dengan kesehatannya. Sayangnya, tidak banyak petani sayur yang mau terjun ke bisnis ini.
Melihat kesempatan tersebut, Theresia Ani Suprida atau akrab dipanggil Frida dan kelima rekannya mantap mendirikan usaha sayuran organik dengan nama Tanaman Organik Merapi (TOM). Walaupun untuk kegiatan riset sayuran organik sudah lama dilakukan Frida dan kelima rekannya, namun TOM sendiri resmi berdiri baru tanggal 1 September 2008 kemarin.
"Produk pertanian organik sangat diminati, sayangnya banyak petani yang tidak bisa menjaga kesinambungan produknya," ujarnya. Tak heran jika hasil panenan TOM sudah ditunggu tiga ritel modern besar yang ada di Jogjakarta. Yaitu di Mirota Kampus, Lion Super Indo dan Indogrosir. "Kami juga memasok ke rumah sakit Gracia Pakem dan untuk pasokan waralaba Mister Burger," lanjut Frida.
Dari tempat-tempat tersebut, masih saja ada yang indent menunggu hasil panenannya. Seperti di Supermarket Diamond dan di beberapa hotel ternama di Jogja. "Kalau hasil panen masih kurang, kami belum berani memasok," ujar Frida yang jebolan Fisipol UGM tahun 1989 ini.
Awalnya, Frida yang saat ini masih tercatat sebagai karyawan Bank Commonwealth cabang Jogja ini ingin sekali menciptakan lapangan kerja tanpa harus merasa stress. Lantas, dengan modal patungan, Frida dan kelima temannya yang punya latar belakang pendidikan berbeda-beda memilih bertani sayuran organik yang memang sangat kurang pasokannya di Jogjakarta. "Kalau lihat yang hijau-hijau kan, jadi nggak stress," ujarnya sembari tertawa.
Untuk itu, Frida dan kelima temannya lantas membuka lahan seluas satu hektar di belakang rumah makan Morolejar, Kaliurang. Tepatnya di Desa Blambangan Kecamatan Wukirsari, Sleman Jogjakarta. "Modalnya patungan," ujar Frida tanpa mau menyebutkan berapa besaran modalnya. Di tempat tersebut, menurut Frida, udaranya sangat sejuk sehingga cocok dijadikan lahan sayuran organik.
Tanaman yang ditanam kelompok TOM ini belum banyak. Hanya sebatas tanaman komoditas yang paling laku saja seperti tomat, selada, selada merah, pakchoy, caisin, bayam, bayam merah, kangkung, kenikir, kemangi, daun bawang merah, seledri, terong, cabai, dan mentimun kuri.
Untuk menanam tanaman organik tersebut, Frida dan rekan-rekannya harus membeli bibit organik dari daerah Klaten, dan Kediri. Untuk menaman dan merawat tanaman organik tersebut, TOM sudah memperkerjakan 10 karyawan.
Media organik TOM bukanlah media arang atau air. Tetapi berupa tanah organik. Tanah sebagai media tanam dibuat organik lantaran dipupuk dengan pupuk kandang yang sudah dibuat organik melalui beberapa proses tertentu. Satu hektar lahan butuh satu ton pupuk kandang dengan treatment satu hari pemupukan dan satu hari berikutnya untuk penyemprotan insektisida. Sehingga unsur hara tanah memenuhi untuk pemberlakukan cara tanam organik.
Tanaman juga harus rajin disemprot dengan insektisida sehari dua kali. Bedanya, insektisida tanaman organik berasal dari bahan non kimia seperti empon-empon buah mimba, biji bengkoang, atau dari tuba. "Baik pupuk kandang dan bahan insektisida tersedia gratis dari petani dan dari lahan sekitar kebun," lanjut Frida.
Untuk bertanam sayuran organik, memang harus sabar. karena, tanaman organik sangat rentan terhadap serangan hama. Bahkan, Frida harus terjun langsung mengambil ulat-ulat yang menyerang tanaman. "Ada juga ulat tuton yang bergerilya tiap malam hari, dia menyerang batang dan daun," kata Frida.
Tanaman organik sendiri bisa dipanen dalam jangka waktu sebulan. Tetapi, ada juga pelanggan TOM yang meminta sayuran dipanen masih dalam usia cukup muda (baby). Frida dan teman-temannya tentu lebih senang jika pelanggannya lebih memilih baby-nya daripada sayuran siap panen. Karena, ongkos produksi sayuran jadi lebih kecil lantaran masa tanam juga lebih pendek.
Saban bulan, sejak Oktober 2008, kebun TOM mampu menghasilkan sayuran sebanyak 1,5 ton sampai 2 ton. Hasil tersebut masih kecil dibandingkan jumlah permintaan yang terus meningkat. "Karena masih kekurangan tenaga, lahan kami memang belum tergarap semua," tukas Frida.
Frida mengaku, harga jual tanaman organiknya bisa seharga dua kali lipat harga sayuran biasa. Margin yang didapatkannya pun bisa sebesar 20% dari biaya tanam. Misalkan saja selada dijualnya seharga Rp 15.000 per kilo. Kangkung Rp 8.000 per kilo. Bayam Rp 8.500 per kilo. Serta pakchoy Rp 10.000 per kilo.
Menurut Frida, rasa sayuran organik lebih legit dari rasa sayuran biasa."Kalau disimpan di kulkas juga lebih tahan lama daripada sayuran biasa yang cepat kering," tukasnya lagi.
Dari hasil panenan tersebut, sekitar 20% hasil produksinya cacat termakan ulat. produk cacat tersebut tidak langsung dibuang tetapi jadi campuran pupuk kandang sapi. "Tidak ada yang terbuang cuma-cuma," kata Frida.
Satu hal yang masih mengganjal bagi Frida dan teman-temannya adalah bahwa hasil produksinya tersebut belum 100% organik. Karena air yang digunakan untuk mengairi kebunnya masih belum air organik. "Lingkungan sekitar kebun masih belum organik, tak heran jika banyak petani tidak mau menanam tanaman organik karena mahal biayanya," keluh Frida.
Kedepan Frida dan teman-temannya akan makin menggenjot hasil produksinya. Juga akan mendirikan rumah makan organik pertama di Jogja di sekitar lahan kebun organiknya. Selain itu, Frida juga akan bergerilya ke sekolah-sekolah favorit untuk memperkenalkan budidaya tanaman organik sebagai salah satu ekstrakurikuler wajib di Jogjakarta."semoga tahun depan sudah terlaksana," ujarnya sumringah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News