Reporter: Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Bisnis toko buku dan penerbit terpukul sejak keluarnya peraturan pemerintah tahun 2008 mengenai pengelolaan buku pelajaran oleh pemerintah dan adanya buku elektronik yang bisa diunduh secara gratis.
Lucya Andam Dewi, Ketua umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), mengatakan, setelah dua tahun kebijakan tersebut berlaku, beberapa penerbit terpaksa gulung tikar. "Sebab, sejak pemerintah mengelola buku pelajaran dan memasarkannya ke sekolah, omzet toko buku dan penerbit merosot," kata Lucya kepada KONTAN.
Sekadar mengingatkan, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.2/2008 tentang Buku Sekolah Elektronik (BSE). Dalam kebijakan tersebut, Kemendiknas membeli hak terbit beberapa buku kemudian menjualnya dengan harga murah melalui toko buku online. Bahkan pelajar juga bisa mengunduh BSE gratis.
Kebijakan ini juga membebaskan semua pihak menggandakan dan memasarkan BSE sepanjang harga jual tak melebihi harga yang telah dipatok oleh pemerintah. Kemendiknas juga melarang sekolah membeli buku dari penerbit, kecuali buku yang hak ciptanya telah dipegang oleh pemerintah.
Dampaknya, penjualan penerbit buku pelajaran terus menyusut. Ujung-ujungnya, "Banyak penerbit buku yang mengurangi kegiatan dan karyawan," imbuh Lucya.
Penurunan pembelian buku cetak akibat berlakunya BSE dibenarkan oleh sekolah. Contohnya di Sekolah SMP Aloysius di Bandung. Yoksiana, Wakil Kepala Sekolah SMP tersebut mengatakan, kini sekolahnya mengurangi pembelian buku fisik hingga 50% dari biasanya. "Untuk buku pelengkap, anak-anak jaman sekarang bisa mengakses via internet," katanya.
Toh menurut Firdaus Umar, Ketua Umum Gabungan Toko Indonesia (GATBI), sebetulnya penerbit dan toko buku bisa memanfaatkan anggaran pemerintah yang sekitar Rp 400 juta per tahun untuk melengkapi perpustakaan sekolah di kabupaten. Namun Lucya pesimistis anggaran ini bisa menggairahkan bisnis buku dan penerbit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News