Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) memberikan respons atas rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan melarang ekspor minyak goreng termasuk bahan bakunya mulai 28 April 2022 sampai batas waktu yang belum ditentukan demi tersedianya pasokan minyak goreng yang melimpah dan berharga murah di dalam negeri.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai, kebijakan ini tidak hanya berdampak bagi harga sawit dan minyak goreng di pasar dunia, tapi juga harga di dalam negeri.
Ia menilai, ada potensi banjir produksi CPO di dalam negeri. Pada tahun 2021, total produksi CPO Indonesia diperkirakan mencapai 46,89 juta ton, sementara konsumsi nasional untuk agrofuel dan pangan diperkirakan 16,29 juta ton. "Artinya terdapat 30 juta-an ton yang selama ini dialokasikan untuk diekspor,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Senin (25/4).
Henry kembali menegaskan, kebijakan ini tentu berdampak kepada petani sawit anggota SPI. Berdasarkan laporan petani anggota SPI di berbagai daerah seperti Riau, Sumatera Utara, harga tandan buah segar (TBS) sawit dihargai sebesar Rp 1.700 – Rp 2.000 per kg, atau sudah terkoreksi sekitar 30%, bahkan ada yang sampai 50%.
Baca Juga: Saham Perusahaan Minyak Sawit Terkemuka Jatuh Setelah Larangan Ekspor Minyak Goreng
Kebijakan pemerintah ini harus diikuti dengan kebijakan turunan selanjutnya yang bisa menjamin harga TBS petani sawit tetap layak. Sebab, menurut SPI, perkebunan sawit harus diurus oleh rakyat dan didukung oleh pemerintah dan BUMN, bukan oleh korporasi.
Henry memaparkan, saat ini korporasilah yang menguasai perkebunan sawit di Indonesia. Dalam praktiknya hal tersebut menimbulkan banyak pelanggaran.
“Perkebunan sawit korporasi telah mengubah hutan menjadi tanaman monokultur, menghilangkan kekayaan hutan Indonesia, juga sumber air berupa rawa-rawa, sungai dan sumber-sumber air lainnya. Korporasi sawit juga terbukti telah menggusur tanah petani, masyarakat adat dan rakyat, sampai merusak infrastruktur di daerah,” paparnya.
Ia berpendapat, kebijakan moratorium sawit yang melarang perluasan izin perkebunan sejak tahun 2017-2019 seharusnya sudah tepat, di mana ditemukan ada 1,7 juta hektare lebih perusahaan sawit yang melampaui HGU yang mereka miliki dan 3 juta hektare sawit di dalam kawasan hutan.
Henry juga menyinggung kesejahteraan buruh-buruh korporasi sawit yang ditelantarkan. Pasalnya, kehadiran korporasi sawit sering kali mengabaikan izin-izin yang ada, ilegal, dan terjadi kasus pelanggaran kewajiban pajak yang harus dibayarkan kepada negara.
Oleh karena itu, Henry menyampaikan, perkebunan sawit harus diserahkan pengelolaannya kepada petani yang dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO, dan turunannya.
“Negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektare dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA),” terangnya.
Henry melanjutkan, negara juga mesti berperan melalui BUMN untuk mengurus turunan strategis produksi sawit, seperti agrofuel atau kepentingan strategis lainnya. Korporasi swasta bisa diikutkan di urusan pengolahan industri lanjutan, misalnya untuk pabrik sabun, kosmetik, obatan-obatan, dan usaha-usaha industri turunan lainnya.
Hasil pajak ekspor dan pengutipan hasil perdagangan internasional bisa digunakan untuk proses transisi pengelolaan sawit dari korporasi ke petani dan negara. “Luas dan produksi sawit Indonesia harus menghormati dan melindungi kedaulatan pangan negara lain, negara yang mengimpor produksi sawit,” imbuhnya.
Baca Juga: Indonesia Larang Ekspor CPO, Ini Kata Dewan Minyak Sawit Malaysia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News