Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Pemerintah Indonesia telah membuat kerja sama dengan pemerintah negara-negara di Uni Eropa untuk memudahkan produk kayu Indonesia masuk ke pasar Uni Eropa. Kerja sama tersebut tertuang dalam sertifikasi lisensi Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT License) untuk semua produk kayu yang akan masuk ke sana.
Dengan adanya sertifikasi tersebut, proses masuknya barang akan lebih cepat karena tidak perlu melewati tahap pemeriksaan. Selain itu, kerja sama ini juga diharapkan dapat meningkatkan ekspor produk kayu dalam negeri. Aturan ini akan resmi diberlakukan pada 15 November 2016.
Abdul Sobur, Sekjen Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) menilai, adanya kewajiban untuk melakukan sertifikasi tersebut malah menjadi beban untuk industri. Pasalnya, para pelaku usaha harus merogoh koceknya cukup dalam untuk mendapatkannya.
"Lagi pula peningkatan ekspor tidak ada hubungannya dengan itu (FLEGT License). Ini membuat industri dalam negeri belum bisa tumbuh," katanya pada KONTAN, Senin (14/11).
Menurutnya, peningkatan ekspor produk kayu lebih karena kualitas kayu Indonesia yang baik. Umumnya, produk kayu yang dicari adalah produk perkantoran dan dekorasi seperti meja, kursi, nakas, lemari, dan lainnya.
Sebelumnya, dalam situs resmi Kementerian Perindustrian disebutkan target ekspor mebel kayu dan rotan nasional bisa menyentuh angka di atas US$ 2 miliar. Abdul menilai target tersebut dapat tercapai bila ada dukungan dari pemerintah. Yang diperlukan misalnya dengan memberikan subsidi dalam ajang pameran di luar negeri dan pemasaran.
Sampai sekarang Indonesia masih menduduki posisi ketiga di ASEAN sebagai negera pengekspor produk kayu. Abdul menyebutkan, selama semester I- 2016 ekspor produk kayu sudah mencapai sekitar US$ 1,2 miliar. Padahal di tahun 2015 lalu, total nilai ekspor Indonesia hanya US$ 1,9 miliar.
Berdasarkan riset KONTAN, China merupakan negara tujuan utama untuk ekspor kayu, porsinya sekitar 40% dari total ekspor tiap tahun. Sedangkan, porsi ekspor ke Uni Eropa hanya sekitar 10%. Ekspor kayu hingga delapan bulan pertama di 2016, sebesar US$ 5,44 miliar. Sedangkan nilai ekspor ke Uni Eropa sebesar US$ 708,38 juta.
Meski, laris manis di negeri orang, produk kayu lokal kalah bersaing di pasar dalam negeri. Abdul Sobur mengatakan, konsumen di dalam negeri lebih menyukai produk kayu buatan China, AS, dan Eropa yang harganya lebih murah. "Perhitungan kami sekitar 60% produk kayu dalam negeri telah dikuasai oleh produk impor," kata Abdul.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News